Get me outta here!

Minggu, 17 November 2013

TELAAH JURNAL AGAMA I

KADAR LOGAM BERAT Pb PADA IKAN BERONANG (Siganus sp), LAMUN, SEDIMEN DAN AIR DI WILAYAH PESISIR KOTA BONTANG-KALIMANTAN TIMUR
Muhammad Zainuri1
Sudrajat2
Evi Sulistiani SIBORO3
1)Dosen Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura
2)Dosen FMIPA Universitas Mulawarman
3)Mahasiswa Program Magister Lingkungan Universitas Mulawarman
Oleh: Imam Bahruddin

1.   Alasan Pemilihan Judul
pemilihan judul  kadar logam berat pb pada ikan beronang (siganus sp), lamun, sedimen dan air di wilayah pesisir kota bontang-kalimantan timur ini didasarkan karena keingin tahuan si penelaah tentang bagaimana pandangan islam mengenai hal bahasan ini. Selain itu juga karena si penelaah ingin menambah pengetahuan tentang 2 pandangan, yaitu pandangan menurut ilmu sains dan ilmu agama.
2.   Substansi jurnal / inti isi jurnal
Hasil penelitian logam berat Pb yang terkandung dalam air laut diperoleh nilai yang berkisar antara 0,795 – 0,997 ppm . Logam berat Pb terdeteksi pada semua stasiun pengamatan dan nilai terendah terdapat di stasiun Beras Basah yaitu 0,796 ppm dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun Muara Kanal yaitu sebesar 0,997 ppm (Gambar 5). Besarnya kandungan logam berat Pb yang terdeteksi pada air di ketiga stasiun pengamatan telah melampaui Nilai Ambang Batas yang telah ditetapkan oleh KEPMEN-LH No.51 tahun 2004 yakni berkisar antara 0,796- 0,997 ppm, besarnya kandungan logam berat Pb di air tersebut dapat mempengaruhi kehidupan biota yang berada diperairan yang telah terkontaminasi logam Pb.
Menurut  Achmad, B (2002), pengaruh timbal sebagai pollutan terhadap kehidupan biota laut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui penurunan kualitas air, dan melalui rantai makanan (food chain). Jika dibandingkan dengan kandungan logam berat pada air laut (0,795 – 0,997 ppm), maka konsentrasi logam berat Pb pada sedimen (2,862 – 3,970 ppm) adalah lebih tinggi. Nilai logam berat Pb yang paling tinggi terdapat pada stasiun Muara Kanal sebesar 3,90 ppm. Logam berat Pb pada sedimen (ppm). Berat basahSelanganMuara Kananl Sedangkan untuk kandungan logam berat Pb pada lamun yang paling tinggi terdeteksi pada stasiun Beras Basah yakni sebesar 0,567ppm. Dapat dilihat pada Tabel 3. besarnya kandungan logam Pb untuk hati dan daging meningkat dengan meningkatnya ukuran panjang tubuh ikan. Pada ukuran panjang tubuh ikan baronang (Siganus sp) antara 10-14 cm jumlah logam berat yang terkandung dalam hati dan  daging masing-masing adalah tidak terdeteksi dan 0,057; untuk ikan berukuran 15-19 cm jumlah logam berat pada hati dan daging masing-masing adalah 0,105 ppm dan 0,409 ppm; sedangkan untuk ukuran ikan 20-24 cm, jumlah logam berat yang terkandung dalam hati sebesar 0,274 ppm dan 0,700 ppm pada daging. Selanjutnya, pada Tabel 3 juga dapat dilihat, bahwa kandungan logam berat Pb pada daging ikan baronang (Siganus sp) lebih tinggi nilainya daripada rata-rata logam berat Pb untuk ukuran ikan 15-19 cm dan ukuran 20-24 cm sehingga dapat dikatakan terjadi biomagnifikasi mengingat konsentrasi logam berat Pb dari lamun terdeteksi lebih rendah, atau dengan kata lain, bahwa terjadi peningkatan kandungan logam berat dari lamun ke daging ikan baronang (Siganus sp) untuk ukuran 15-19 cm dan 20-24 cm, sedangkan untuk ukuran ikan 10-14 cm tidak terjadi proses biomagnifikasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai adsorpsi faktor logam berat Pb untuk sedimen adalah berkisar antara 3,312 – 3,982 ppm dengan adsorpsi faktor tertinggi pada stasiun Muara Kanal dan terendah pada stasiun Selangan. Sedangkan untuk hasil perhitungan biokonsentrasi faktor pada lamun dan ikan baronang (siganus.sp),
Perbandingan antara rata-rata logam berat Pb pada  nilai kandungan logam berat Pb berdasarkan stasiun pengamatan adalah, di Beras Basah memiliki kandungan logam Pb paling tinggi, sebesar 0,721 ppm pada daging, lebih besar daripada di hati yakni sebesar 0,287 ppm. Sedangkan nilai biokonsentrasi faktor logam berat Pb pada lamun adalah berkisar 0,116 – 0,712 ppm, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun Beras Basah dan terendah di stasiun Selangan.
Kandungan logam berat Pb yang terdapat pada sedimen sebesar 2,862 – 3,970 ppm. Besarnya kandungan logam berat pada sedimen diduga karena adanya proses pengendapan. Untuk nilai kandungan logam berat Pb pada Lamun sebesar 0,114-0,567 ppm, kandungan logam berat Pb di lamun ini diduga dikarena adanya proses absorbsi sehingga pada sampel lamun didapatkan nilai kandungan logam berat Pb sebesar nilai yang dicantumkan diatas. Menurut Supriadi (2009) setelah memasuki perairan pesisir dan laut sifat bahan pencemar ditentukan oleh beberapa faktor atau beberapa jalur dengan kemungkinan perjalanan bahan pencemar sebagai berikut:
1. Terencerkan dan tersebar oleh adukan turbulensi dan arus laut.
2. Dipekatkan melalui proses biologis dengan cara diserap ikan, plankton nabati atau oleh ganggang laut bentik biota ini pada gilirannya dimakan oleh mangsanya dan proses fisik dan kimiawi dengan cara absorpsi, pengendapan, pertukaran ion dan kemudian bahan pencemar itu akan mengendap di dasar perairan.
3. Terbawa langsung oleh arus dan biota (ikan).
Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernapasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi darah berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi logam berat dalam air/lingkungan, suhu, pH, salinitas, oksigen terlaut dan aktifitas fisiologis.
Buangan limbah industri yang mengandung bahan berbahaya dengan toksisitas yang tinggi dan kemampuan biota untuk menimbun logam bahan pencemar, mengakibatkan bahan pencemar langsung terakumulasi secara fisik dan kimia lalu mengendap di dasar laut. Akumulasi melalui proses biologis inilah yang disebut dengan bioakumulasi.
Bahan pencemar (racun) masuk ke tubuh organisme atau ikan melalui proses absorpsi. Absorpsi merupakan proses perpindahan racun dari absorpsinya ke dalam sirkulasi darah. Bahan pencemar dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui tiga cara yaitu melalui rantai makanan, insang dan difusi permukaan kulit.
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa telah terjadi proses biomagnifikasi dari lamun terhadap ikan baronang (Siganus sp), yakni pada stasiun Beras Basah dan Selangan. Sebagaimana menurut Darmono (1995) sifat logam berat sangat unik, tidak dapat dihancurkan secara alami dan cenderung terakumulasi dalam rantai makanan melalui proses biomagnifikasi, meskipun ikan baronang (Siganus sp) tidak hanya memakan lamun, tetapi juga dapat memakan tumbuhan lainnya., Sebagaimana menurut Ghufran, M (1997) Ikan baronang adalah jenis ikan yang memakan berbagai macam makanan di alam, sebagian besar makanan yang dimakan adalah rumput laut, ganggang, lumut, dan tumbuhan lainnya sehingga digolongkan ke dalam herbivora (pemakan tumbuhan) atau vegetaris. Pada
stasiun Muara Kanal belum terjadi proses biomagnifikasi hanya terjadi proses bioakumulasi hal ini diduga karena, selain memakan lamun ikan baronang bisa saja memakan tumbuh-tumbuhan lainnya. Selain itu diduga ikan yang tertangkap masa hidupnya belum selama masa hidup lamun dan mungkin ikan baronang yang tertangkap, adalah ikan baronang yang sedang melintasi daerah pengambilan sampel. Tetapi kita akan dapat melihat bahwa sebenarnya akumulasi logam berat akan tinggi jumlahnya dengan melihat pertumbuhan somatik (panjang badan) dapat mewakili lamanya hidup.
Secara keseluruhan keberadaan kandungan logam berat Pb yang terdeteksi pada hati ikan baronang (Siganus sp) telah menunjukkan terjadinya proses bioakumulasi melalui rantai makanan yang telah tercemar logam berat Pb. Keberadaan kandungan logam berat Pb pada daging ikan baronang (Siganus sp) yang terdeteksi dapat melalui rantai makanan dan difusi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Keckes dan Miettinen,1972 dalam Wardoyo (1975) mengemukakan bahwa logam berat masuk ke dalam tubuh organisme laut melalui tiga cara, yaitu melalui rantai makanan, insang, dan difusi melalui pemukaan tubuh.
Selama penelitian, parameter kualitas air yang terukur (suhu, pH, salinitas dan DO dapat diketahui masih mendukung kelangsunga n hidup ikan baronang (Siganus sp) di perairan Bontang. Sesuai dengan pendapat Dana Kusumah, E. (1985), bahwa kisaran suhu 28 - 32°C adalah suhu ideal untuk hidup baronang (Siganus sp) dan suhu yang terukur pada stasiun pengamatan sebesar 280C. Suhu tersebut mendukung proses metabolisme pada tubuh ikan baronang (Siganus sp), sehingga ikan baronang (Siganus sp) lebih aktif mengambil makanan dari lingkungan (lamun dan organisme lainnya) yang telah tercemar oleh logam berat Pb, dikarenakan lamun tumbuh pada substrat sedimen yang telah terakumulasi logam berat Pb maka kandungan logam berat di lamun akan bertambah. Sebagaimana dijelaskan oleh Beveridge (1996) bahwa suhu mempengaruhi laju metabolisme dan meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas gerak ikan.
Dengan demikian menunjukkan bahwa proses biomagnifikasi terjadi pada ikan baronang (Siganus sp) melalui rantai makanannya.
Derajat keasaman (pH) yang terukur di stasiun pengamatan adalah lebih besar dari pada 7 yang masuk dalam kategori basa. pH air yang bersifat alkalis sangat mendukung untuk terjadinya laju dekomposisi pada suatu perairan. Dengan adanya pH air yang bersifat alkalis akan terjadi peningkatan laju dekomposisi maka akan berdampak dengan menurunnya nilai oksigen. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur.
Salinitas yang terukur sebesar 34-360/00. Salinitas yang terukur masih berada dalam kisaran salinitas optimum bagi pertumbuhan organisme laut yaitu 32 – 36 0/00 (Razak,1998). DO yang terukur sebesar 6 – 7 ppm. Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak.
Selain melalui rantai makanan, ikan baronang (Siganus sp) dapat menerima pencemaran melalui badan air yang telah tercemar oleh logam berat Pb dengan cara saling bersinggungan langsung antara air
dengan tubuh ikan melalui proses difusi. Sebagaimana dijelaskan oleh Beveridge (1996) bahwa suhu mempengaruhi laju metabolisme dan meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas gerak ikan.
Adsorpsi faktor pada sedimen digunakan untuk mengetahui nilai perbandingan konsentrasi bahan pencemar pada sedimen, badan air, daya adsorpsi dan laju distribusi pencemar pada kedua media dapat diketahui dengan menghitung nilai adsorpsi faktor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai adsorpsi faktor logam berat Pb berkisar antara 3,312 - 3,982 ppm, dengan adsorpsi faktor terendah pada stasiun Selangan dan tertinggi pada stasiun Muara Kanal.
Tinggi rendahnya nilai adsorpsi faktor logam berat Pb di lingkungan perairan (stasiun pengamatan) sangat dipengaruhi oleh karakteristik perairan, tingkat aktivitas masyarakat/ perusahaan yang menghasilkan limbah, jenis bahan pencemar yang dihasilkan, intensitas pencemaran dan hidrodinamika perairan.
Begitu juga dengan Biokonsentrasi faktor pada lamun dan ikan baronang (Siganus sp). Untuk mengetahui daya absorpsi dan laju distribusi pencemar pada organisme dengan cara menghitung biokonsentrasi faktor (BCF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai biokonsentrasi faktor logam berat Pb untuk lamun (berkisar antara 0,116 – 0,712 ppm), dengan nilai tertinggi pada stasiun Beras Basah dan yang terendah pada stasiun Selangan.
Hasil analisis biokonsentrasi faktor logam berat Pb untuk ikan baronang (Siganus sp) pada hati berkisar antara 0,044 – 0,287 ppm dan pada daging berkisar antara 0,272 - 0,721 ppm dengan nilai yang tertinggi pada stasiun Beras Basah. Besarnya kandungan logam berat pada daging ini diduga karena selain logam berat masuk melalui pencernaan dapat masuk melalui penetrasi, selain itu diduga tingginya logam berat Pb pada daging dikarenakan tingginya kadar logam Pb pada air dibandingkan akumulasi logam berat Pb di lamun, akibatnya akumulasi kandungan logam berat Pb pada daging lebih besar nilainya daripada di hati. Menurut (Connel dan Miller 1995), akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi logam berat dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktifitas fisiologis.
Hasil analisis adsorpsi faktor dan biokonsentrasi faktor seperti yang diuraikan diatas memperlihatkan bahwa logam masuk ke badan air pasti akan mengalami pengendapan (presipitasi), adsorpsi dan bioakumulasi. Besarnya nilai adsorpsi akan berkorelasi positif dengan bioakumulasi, artinya setiap peningkatan nilai adsorpsi akan cenderung selalu diikuti oleh peningkatan nilai bioakumulasi.
Hasil analisis biokonsentrasi faktor logam berat Pb pada seluruh stasiun pengamatan, baik pada lamun maupun pada ikan baronang (Siganus sp) dapat disimpulkan bahwa perairan yang mempunyai nilai kandungan logam berat Pb yang rendah akan mempunyai nilai adsorpsi faktor dan biokonsentrasi faktor (BCF) yang tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh sifat logam berat yang mempunyai kecenderungan untuk mengendap karena memiliki massa jenis yang lebih besar dari massa jenis air.
Logam berat akan terakumulasi pada sedimen di dasar perairan. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, oleh karena itu kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Harahap, 1991). Lamun mendapatkan nutrien untuk pertumbuhan dan perkembangan pada sedimen melalui sistem perakaran sehingga logam berat yang terdapat pada sedimen akan terabsorpsi ke jaringan lamun.
Sedangkan untuk ikan baronang (Siganus sp) mendapatkan nutrien untuk perkembangan dan pertumbuhannya dari makanannya (lamun) yang telah terakumulasi logam berat Pb, dikarenakan lamun yang menjadi makanan ikan baronang (siganus sp) telah terakumulasi logam berat Pb, maka akan terjadi proses perpindahan konsentrasi logam berat Pb dari lamun ke dalam tubuh ikan baronang (Siganus sp) melalui proses biomagnifikasi. Pada Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa nilai kandungan logam berat Pb masih lebih tinggi di ikan baronang (Siganus sp) daripada di dalam lamun.  
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) yang digunakan dalam penelitian berasal dari TPI Muara Angke Jakarta. Ikan tongkol ini ditangkap dari perairan sekitar pulau Kalimantan dengan menggunakan kapal purse seine yang menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapannya. Para nelayan banyak yang beroperasi ke daerah perairan sekitar pulau Kalimantan, karena hasil tangkapannya cukup banyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Collete dan Nauen (1983), berdasarkan penyebarannya, ikan tongkol banyak terdapat di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sepanjang khatulistiwa.
Ikan tongkol yang didaratkan di TPI Muara Angke, secara organoleptik masih segar. Hal ini disebabkan penyimpanan ikan tongkol di atas kapal dilakukan pada suhu beku, sehingga kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Ikan mudah mengalami proses kemunduran mutu, terutama ikan laut. Kualitas ikan yang baru didaratkan dari kapal di beberapa daerah penangkapan di Indonesia sebagian sudah tidak segar lagi. Hal ini disebabkan karena waktu melaut yang cukup lama ditambah dengan kondisi pendinginan yang tidak baik memungkinkan kerusakan oleh aktivitas bakteri dan enzim terus berlangsung selama proses penangkapan, pendaratan, pelelangan maupun selama pemasaran ikan segar tersebut. Meskipun kondisi kesegaran ikan tersebut sudah tidak baik umumnya beberapa pengolah tetap mengolah ikan tersebut menjadi produk ikan asin atau pindang (Subaryono et al. 2004).
kan tongkol (Euthynnus affinis) yang digunakan sebagai bahan penelitian, diamati morfologinya. Hasil yang diperoleh berdasarkan pengamatan adalah memiliki ciri-ciri bentuk tubuhnya memanjang sepert torpedo, Tak bersisik kecuali pada korselet dan garis rusuk. Terdapat lunas kuat pada batang ekor diapit dua lunas kecil pada ujung belakangnya. Terdapat dua lidah/cuping diantara sirip perutnya. Warna bagian atas biru kehitaman, putih perak bagian bawah. Totol-totol hitam terdapat diantara sirip dada dan perut.
 Hasil karakteristik organoleptik ikan tongkol disajikan pada Tabel 1.
Ikan tongkol yang hidup di perairan sekitar pulau Kalimantan termasuk ikan perenang cepat yang salah satu cirinya adalah mengandung daging merah, hal ini terlihat dari kandungan daging merah yang terdapat dalam tubuhnya pada saat dilakukan pemisahan dengan daging putih. Menurut Subaryono et al. (2004), jenis ikan tongkol memiliki kandungan daging merah yang cukup tinggi yang biasanya mengandung cukup banyak senyawa histidin bebas didalamnya, sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembentuk histidin.
Hasil penelitian terhadap jumlah rendemen ikan tongkol (Euthynnus affinis) bahwa dari kandungan total ikan tongkol sebesar 780 g terdiri dari jumlah terbesar t pada daging yaitu 390 g (50%), tulang, kepala dan isi perut sebesar 320 g (41,03%), kulit sebesar 40 g (5,13%), dan sisa berupa air sebesar 30 g (3,85%), jumlah rendemen pada ikan tongkol
Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45–50% dari tubuh ikan (Suzuki 1981), Stanby (1963) menambahkan bahwa untuk kelompok ikan tuna, bagian ikan yang dapat dimakan berkisar antara 50-60%.
Tingginya kandungan daging pada ikan tongkol berhubungan dengan bentuk tubuhnya yaitu cerutu yang memiliki bagian terbesar pada bagian perut yang banyak mengandung daging. Ikan tongkol termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu.mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang (Saanin, 1983). Komposisi daging putih (37,18%) lebih banyak dari pada daging merah (12,82%).
Menurut Okada (1990) dalam Rospiati (2006) bahwa jumlah daging merah bervariasi mulai kurang dari 1–2% pada ikan yang tidak berlemak hingga 20% pada ikan yang berlemak. Akande (1988)
Penelitian menjelaskan bahwa komposisi daging putih ikan tuna lebih besar dibandingkan dengan daging merahnya yaitu 36,4% dan 20%.
komposisi proksimat daging merah dan daging putih ikan tongkol disajikan pada Gambar 2. Komposisi proksimat antara daging merah dan daging putih berbeda, kandungan proksimat tertinggi pada daging ikan tongkol yaitu pada kandungan proteinnya yang mencapai antara 54,196% (daging merah) sampai 68,355% (daging putih), lemak berkisar antara 1,8% (daging putih) sampai 5,6% (daging merah), kadar abu berkisar antara 2,493% (daging putih) sampai 3,290% (daging merah) dan kadar air berkisar antara 7,934% (daging merah) sampai 12,164% (daging putih)
Kadar protein daging putih (68,355%) lebih tinggi dari pada daging merah (54,196%), hal ini telah dijelaskan oleh Akande (1988) bahwa komposisi protein pada daging putih ikan tuna lebih tinggi dari pada daging merahnya yaitu sekitar 30,92 %.
Kadar lemak pada daging merah ikan tongkol sebesar 5,6 % dan lebih tinggi dibandingkan lemak pada daging putihnya sebesar 1,8%. Learson dan Kaylor (1990) menjelaskan bahwa daging merah kaya akan lemak, oksigen dan mengandung mioglobin. Okada (1990) dalam Rospiati (2006) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak.
Kadar abu pada ikan tongkol hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tertinggi diperoleh pada daging merah sebesar 3,290% dan terendah pada daging putih sebesar 2,493%. Arias et al. (2004) menjelaskan bahwa kandungan kadar abu pada daging putih ikan tongkol yaitu 1,5%. Tingginya kadar abu pada daging merah mungkin disebabkan karena pada daging merah terdapat banyak mineral yang terbawa oleh mioglobin dan tersimpan dalam daging merah.
Kadar air tertinggi diperoleh pada daging putih sebesar 12,164% dan terendah pada daging merah sebesar 7,934%. Tingginya kadar air pada daging putih mungkin disebabkan karena pada daging putih terdapat kandungan protein yang tinggi. Menurut Suzuki (1981) menjelaskan bahwa kadar air mempunyai hubungan terbalik dengan lemak, semakin rendah lemak maka semakin tinggi kadar airnya.
Hasil analisis kualitatif senyawa kimia terhadap daging ikan tongkol (Euthynnus affinis) disajikan pada Tabel 3. Daging putih maupun daging merah mengandung alkaloid yang ditunjukkan pada pelarut Dragendorf dengan terbentuknya endapan berwarna jingga, pada pelarut Meyer terbentuk endapan berwarna putih kekuningan, dan pada pelarut Wagner terbentuk endapan berwarna coklat.
Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Menurut Othmer (1998), diketahui bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan memberikan efek fisiologis tertentu pada mahluk hidup.
Alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Klasifikasi pengelompokan alkaloid biasanya didasarkan pada prekursor pembentuknya. Kebanyakan dibentuk dari asam amino seperti lisin, tirosin, triptofan, histidin dan ornitin. Sebagai contoh, nikotin dibentuk dari ornitin dan asam nikotina.
Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa pada daging ikan tongkol baik daging merah dan daging putih juga mengandung senyawa steroid. Hal ini mungkin dikarenakan dalam daging ikan tongkol terdapat senyawa skualen dan senyawa karoten yang dapat membentuk senyawa steroid sebagai senyawa turunannya. Sedangkan senyawa flavonoid dan tidak ditemukan dalam daging ikan tongkol.
Hasil pengamatan terhadap senyawa molisch pada daging ikan tongkol menunjukkan bahwa senyawa tersebut terdapat dalam daging merah dan daging putih (Tabel 3). Adanya karbohidrat dalam daging ikan tongkol yang menyebabkan uji molisch menjadi positif. Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril (Hadiwiyoto 1993).
Dalam pandangan islam, semua ikan atau makhluk yang hidup di dalam laut hukumnya halala untuk dimakan. Semua itu tidak memandang apa itu sudah berbentuk bangkai ataupun yang belum mati. Tetapi dengan berkembangnya zaman, air yang berada didalam laut tercemar hal-hal yang dapat memberikan efek relatif bahaya bagi tubuh kita. Semua itu karena adanya pembukaan besar-besaran terhadap industri tetapi tidak memikirkan bagaimana efek terhadap lingkungan kita.
Dengan adanya demikian yang menyebutkan bahwa sebagian besar ikan yang berada didalm laut terkontaminasi hal-hal yang membahayakan kita, maka kita harus pintar-pintar untuk menyiasatinya. Karena islam memberikan petujuk kepada kita memakan makanan yang halal dan baik bagi tubuh kita. Tidak hanya melihat dari segi halalnya, tetapi islam juga mempermasalahkan apakah makanan itu baik untuk kesehatan tubuh kita ataupun tidak.
Dari hal-hal tersebut islam mengajarkan kepada kita untuk mencari makanan yang halal dan baik serta dapat mengetahui terlebih dahulu apakah makanan yang akan kita makan ada manfaatnya ataupun malah hanya terdapat mudharatnya. Sehingga kita harus membuka pikiran kita untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih, karena islam bersifat universal yang dapat mengikuti perkembangan zaman.
3.  Manfaat Isi Jurnal Bagi Perubahan Mahasiswa dan Masyarakat pada Umumnya
3.1  Manfaat bagi perubahan mahasiswa
Dari telaah jurnal tersebut memberikan manfaat bagi mahasiswa yaitu agar mahasiswa lebih dapat mengembangkan ilmu yang mereka kuasai untuk mempelajari semua hal-hal yang baik ataupun bermanfaat bagi kita masyarakat umum agar tidak salah dalam pemahaman hal-hal baru sesuai berjalannya perubahan zaman. Khususnya dalam telaah jurnal ini membahas ikan konsumsi yang biasa kita makan sehari-hari.
3.2  Manfaat bagi perubahan masyarakat umumnya
Dari pembahasan telaah jurnal ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum yaitu memberikan mereka pengetahuan baru tentang hal-hal yang berubah sesuai perubahan zaman. Masyarakat juga agar bisa lebih selektif terhadap pemilihan makanan yang akan di konsumsi dalam kehidupan sehri-hari.
4.   Penutup
4.1  Kesimpulan
Dari telaah jurnal yang berjudul  kadar logam berat pb pada ikan beronang (siganus sp), lamun, sedimen dan air di wilayah pesisir kota bontang-kalimantan timur dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1.      Islam memberi petunjuk atau arahan kepada kita untuk memakan makanan yang halal dan uga baik untuk diri kita.
2.      Sebagian besar ikan dalam laut hanya bisa kita konsumsi 40% - 50%, karena tercemar kandungan logam berat yang berbahaya bagi tubuh kita bila dikonsumsi dalam jangka waktu panjang.
4.2  Saran
Saran yang dapat disampaikan kepada pembaca adalah sebagai berikut:
1.      Sebaiknya lebih selektif memilih makanan yang baik bagi tubuh kita.
2.      Sebaiknya dapat mengembangkan penelitian tentang hal-hal yang lain yang bermanfaat bagi kehidupan kita.
3.      Sebaiknya semua tindakan yang dilakukan didasarkan ajaran-ajarn islam.



















DAFTAR PUSTAKA
Subramaniyan, S. and P. Prema. 2002. Biotechnology of Microbial Xylanases : Enzymology, Molecular Biology and application. Critical Rev Biotecnol 22: 33-64
Fulks, W. And K.I. Main. 1991. Rotifer and Microalgae Culture Systems. Proceeding of a U.S. Asia Workshop. The Oceanic Institute, Honolulu. Hawai. 364 p.
Hirata, H., A. Ishak, and S. Yamashaki. 1981. Effect of Salinity and Temperature on The Growth of The Marine Phytoplankton Chlorella saccharophila. Journal of the Kagoshima Univ of Fisheries. Japan. 30 (2) : 257-262.
Lingaiah V. and P Rajasekaran. 1986. Biodigestion of cowdung and organic wastes mixed with oil cake in relation to energy in Agricultural Wastes 17(1986): 161-173
Richmond, A. 1986. CRC Handbook of Mikroalga Mass Culture. CRC Press Ino. Florida. p. 156 – 190.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. PT. Medyatama sarana Perkasa. Jakarta. Hlm. : 73-76.
Ukeles, R. 1971. Nutritional equirements in shellfish culture In : K. S. Price Price Jr. and D. L. Maurer (Eds). Nutritional equirements in shellfish culture. Proch. Conf. On Artificial Propagation of Commercially Valuable Shellfish-Oysters. Univ. Delaware, newrk. DE : 22-23 October 1963 : 43-64.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar