KADAR LOGAM BERAT Pb
PADA IKAN BERONANG (Siganus sp), LAMUN, SEDIMEN DAN AIR DI WILAYAH
PESISIR KOTA BONTANG-KALIMANTAN TIMUR
Muhammad Zainuri1
Sudrajat2
Evi Sulistiani SIBORO3
1)Dosen Jurusan Ilmu Kelautan
Universitas Trunojoyo Madura
2)Dosen FMIPA Universitas Mulawarman
3)Mahasiswa Program Magister Lingkungan
Universitas Mulawarman
Oleh: Imam Bahruddin
1.
Alasan
Pemilihan Judul
pemilihan judul
kadar logam berat pb pada ikan
beronang (siganus sp), lamun, sedimen dan air di wilayah pesisir kota
bontang-kalimantan timur ini didasarkan karena keingin tahuan si penelaah
tentang bagaimana pandangan islam mengenai hal bahasan ini. Selain itu juga
karena si penelaah ingin menambah pengetahuan tentang 2 pandangan, yaitu
pandangan menurut ilmu sains dan ilmu agama.
2.
Substansi
jurnal / inti isi jurnal
Hasil penelitian logam berat Pb yang terkandung dalam air
laut diperoleh nilai yang berkisar antara 0,795 – 0,997 ppm . Logam berat Pb terdeteksi pada semua stasiun
pengamatan dan nilai terendah terdapat di stasiun Beras Basah yaitu 0,796 ppm
dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun Muara Kanal yaitu sebesar 0,997 ppm
(Gambar 5). Besarnya kandungan logam berat Pb yang terdeteksi pada air di
ketiga stasiun pengamatan telah melampaui Nilai Ambang Batas yang telah
ditetapkan oleh KEPMEN-LH No.51 tahun 2004 yakni berkisar antara 0,796- 0,997
ppm, besarnya kandungan logam berat Pb di air tersebut dapat mempengaruhi
kehidupan biota yang berada diperairan yang telah terkontaminasi logam Pb.
Menurut Achmad, B
(2002), pengaruh timbal sebagai pollutan terhadap kehidupan biota laut
dapat bersifat langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui penurunan
kualitas air, dan melalui rantai makanan (food chain). Jika dibandingkan
dengan kandungan logam berat pada air laut (0,795 – 0,997 ppm), maka
konsentrasi logam berat Pb pada sedimen (2,862 – 3,970 ppm) adalah lebih
tinggi. Nilai logam berat Pb yang paling tinggi terdapat pada stasiun Muara
Kanal sebesar 3,90 ppm. Logam berat Pb pada sedimen (ppm). Berat basahSelanganMuara
Kananl Sedangkan untuk kandungan logam berat Pb pada lamun yang paling tinggi
terdeteksi pada stasiun Beras Basah yakni sebesar 0,567ppm. Dapat dilihat pada
Tabel 3. besarnya kandungan logam Pb untuk hati dan daging meningkat dengan
meningkatnya ukuran panjang tubuh ikan. Pada ukuran panjang tubuh ikan baronang
(Siganus sp) antara 10-14 cm jumlah logam berat yang terkandung dalam
hati dan daging masing-masing adalah tidak terdeteksi
dan 0,057; untuk ikan berukuran 15-19 cm jumlah logam berat pada hati dan
daging masing-masing adalah 0,105 ppm dan 0,409 ppm; sedangkan untuk ukuran
ikan 20-24 cm, jumlah logam berat yang terkandung dalam hati sebesar 0,274 ppm
dan 0,700 ppm pada daging. Selanjutnya, pada Tabel 3 juga dapat dilihat, bahwa
kandungan logam berat Pb pada daging ikan baronang (Siganus sp) lebih
tinggi nilainya daripada rata-rata logam berat Pb untuk ukuran ikan 15-19 cm
dan ukuran 20-24 cm sehingga dapat dikatakan terjadi biomagnifikasi mengingat
konsentrasi logam berat Pb dari lamun terdeteksi lebih rendah, atau dengan kata
lain, bahwa terjadi peningkatan kandungan logam berat dari lamun ke daging ikan
baronang (Siganus sp) untuk ukuran 15-19 cm dan 20-24 cm, sedangkan
untuk ukuran ikan 10-14 cm tidak terjadi proses biomagnifikasi
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai adsorpsi faktor logam berat Pb untuk sedimen adalah berkisar antara
3,312 – 3,982 ppm dengan adsorpsi faktor tertinggi pada stasiun Muara Kanal dan
terendah pada stasiun Selangan. Sedangkan untuk hasil perhitungan
biokonsentrasi faktor pada lamun dan ikan baronang (siganus.sp),
Perbandingan antara rata-rata logam berat
Pb pada nilai kandungan logam berat Pb
berdasarkan stasiun pengamatan adalah, di Beras Basah memiliki kandungan logam
Pb paling tinggi, sebesar 0,721 ppm pada daging, lebih besar daripada di hati
yakni sebesar 0,287 ppm. Sedangkan nilai biokonsentrasi faktor logam berat Pb
pada lamun adalah berkisar 0,116 – 0,712 ppm, dengan nilai tertinggi terdapat
pada stasiun Beras Basah dan terendah di stasiun Selangan.
Kandungan logam berat Pb yang
terdapat pada sedimen sebesar 2,862 – 3,970 ppm. Besarnya kandungan logam berat
pada sedimen diduga karena adanya proses pengendapan. Untuk nilai kandungan
logam berat Pb pada Lamun sebesar 0,114-0,567 ppm, kandungan logam berat Pb di
lamun ini diduga dikarena adanya proses absorbsi sehingga pada sampel lamun
didapatkan nilai kandungan logam berat Pb sebesar nilai yang dicantumkan
diatas. Menurut Supriadi (2009) setelah memasuki perairan pesisir dan laut
sifat bahan pencemar ditentukan oleh beberapa faktor atau beberapa jalur dengan
kemungkinan perjalanan bahan pencemar sebagai berikut:
1. Terencerkan dan tersebar oleh adukan turbulensi dan
arus laut.
2. Dipekatkan melalui proses biologis dengan cara
diserap ikan, plankton nabati atau oleh ganggang laut bentik biota ini pada
gilirannya dimakan oleh mangsanya dan proses fisik dan kimiawi dengan cara absorpsi,
pengendapan, pertukaran ion dan kemudian bahan pencemar itu akan mengendap di
dasar perairan.
3. Terbawa langsung oleh arus dan biota
(ikan).
Logam berat masuk ke dalam
jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernapasan,
pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi
darah berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh. Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada
konsentrasi logam berat dalam air/lingkungan, suhu, pH, salinitas, oksigen
terlaut dan aktifitas fisiologis.
Buangan limbah industri yang
mengandung bahan berbahaya dengan toksisitas yang tinggi dan kemampuan biota
untuk menimbun logam bahan pencemar, mengakibatkan bahan pencemar langsung
terakumulasi secara fisik dan kimia lalu mengendap di dasar laut. Akumulasi
melalui proses biologis inilah yang disebut dengan bioakumulasi.
Bahan pencemar (racun) masuk
ke tubuh organisme atau ikan melalui proses absorpsi. Absorpsi merupakan proses
perpindahan racun dari absorpsinya ke dalam sirkulasi darah. Bahan pencemar
dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui tiga cara yaitu melalui rantai makanan,
insang dan difusi permukaan kulit.
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa telah
terjadi proses biomagnifikasi dari lamun terhadap ikan baronang (Siganus sp),
yakni pada stasiun Beras Basah dan Selangan. Sebagaimana menurut Darmono (1995)
sifat logam berat sangat unik, tidak dapat dihancurkan secara alami dan
cenderung terakumulasi dalam rantai makanan melalui proses biomagnifikasi,
meskipun ikan baronang (Siganus sp) tidak hanya memakan lamun, tetapi
juga dapat memakan tumbuhan lainnya., Sebagaimana menurut Ghufran, M (1997)
Ikan baronang adalah jenis ikan yang memakan berbagai macam makanan di alam,
sebagian besar makanan yang dimakan adalah rumput laut, ganggang, lumut, dan
tumbuhan lainnya sehingga digolongkan ke dalam herbivora (pemakan tumbuhan)
atau vegetaris. Pada
stasiun Muara Kanal belum terjadi proses
biomagnifikasi hanya terjadi proses bioakumulasi hal ini diduga karena, selain
memakan lamun ikan baronang bisa saja memakan tumbuh-tumbuhan lainnya. Selain
itu diduga ikan yang tertangkap masa hidupnya belum selama masa hidup lamun dan
mungkin ikan baronang yang tertangkap, adalah ikan baronang yang sedang
melintasi daerah pengambilan sampel. Tetapi kita akan dapat melihat bahwa
sebenarnya akumulasi logam berat akan tinggi jumlahnya dengan melihat
pertumbuhan somatik (panjang badan) dapat mewakili lamanya hidup.
Secara keseluruhan keberadaan
kandungan logam berat Pb yang terdeteksi pada hati ikan baronang (Siganus sp)
telah menunjukkan terjadinya proses bioakumulasi melalui rantai makanan yang
telah tercemar logam berat Pb. Keberadaan kandungan logam berat Pb pada daging
ikan baronang (Siganus sp) yang terdeteksi dapat melalui rantai makanan
dan difusi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Keckes dan Miettinen,1972 dalam
Wardoyo (1975) mengemukakan bahwa logam berat masuk ke dalam tubuh
organisme laut melalui tiga cara, yaitu melalui rantai makanan, insang, dan
difusi melalui pemukaan tubuh.
Selama penelitian, parameter kualitas air
yang terukur (suhu, pH, salinitas dan DO dapat diketahui masih mendukung
kelangsunga n hidup ikan baronang (Siganus sp) di perairan Bontang.
Sesuai dengan pendapat Dana Kusumah, E. (1985), bahwa kisaran suhu 28 - 32°C
adalah suhu ideal untuk hidup baronang (Siganus sp) dan suhu yang
terukur pada stasiun pengamatan sebesar 280C. Suhu tersebut mendukung proses
metabolisme pada tubuh ikan baronang (Siganus sp), sehingga ikan
baronang (Siganus sp) lebih aktif mengambil makanan dari lingkungan
(lamun dan organisme lainnya) yang telah tercemar oleh logam berat Pb,
dikarenakan lamun tumbuh pada substrat sedimen yang telah terakumulasi logam
berat Pb maka kandungan logam berat di lamun akan bertambah. Sebagaimana
dijelaskan oleh Beveridge (1996) bahwa suhu mempengaruhi laju metabolisme dan
meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas gerak ikan.
Dengan demikian menunjukkan
bahwa proses biomagnifikasi terjadi pada ikan baronang (Siganus sp)
melalui rantai makanannya.
Derajat keasaman (pH) yang terukur di
stasiun pengamatan adalah lebih besar dari pada 7 yang masuk dalam kategori
basa. pH air yang bersifat alkalis sangat mendukung untuk terjadinya laju
dekomposisi pada suatu perairan. Dengan adanya pH air yang bersifat alkalis
akan terjadi peningkatan laju dekomposisi maka akan berdampak dengan menurunnya
nilai oksigen. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena
kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang
membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap
membentuk lumpur.
Salinitas yang terukur sebesar
34-360/00. Salinitas yang terukur masih berada dalam kisaran salinitas optimum
bagi pertumbuhan organisme laut yaitu 32 – 36 0/00 (Razak,1998). DO yang
terukur sebesar 6 – 7 ppm. Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut digunakan
untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak.
Selain melalui rantai makanan, ikan
baronang (Siganus sp) dapat menerima pencemaran melalui badan air yang
telah tercemar oleh logam berat Pb dengan cara saling bersinggungan langsung
antara air
dengan tubuh ikan melalui proses difusi.
Sebagaimana dijelaskan oleh Beveridge (1996) bahwa suhu mempengaruhi laju
metabolisme dan meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas gerak ikan.
Adsorpsi faktor pada sedimen
digunakan untuk mengetahui nilai perbandingan konsentrasi bahan pencemar pada
sedimen, badan air, daya adsorpsi dan laju distribusi pencemar pada kedua media
dapat diketahui dengan menghitung nilai adsorpsi faktor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai
adsorpsi faktor logam berat Pb berkisar antara 3,312 - 3,982 ppm, dengan
adsorpsi faktor terendah pada stasiun Selangan dan tertinggi pada stasiun Muara
Kanal.
Tinggi rendahnya nilai
adsorpsi faktor logam berat Pb di lingkungan perairan (stasiun pengamatan)
sangat dipengaruhi oleh karakteristik perairan, tingkat aktivitas masyarakat/
perusahaan yang menghasilkan limbah, jenis bahan pencemar yang dihasilkan,
intensitas pencemaran dan hidrodinamika perairan.
Begitu juga dengan Biokonsentrasi faktor
pada lamun dan ikan baronang (Siganus sp). Untuk mengetahui daya
absorpsi dan laju distribusi pencemar pada organisme dengan cara menghitung
biokonsentrasi faktor (BCF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai
biokonsentrasi faktor logam berat Pb untuk lamun (berkisar antara 0,116 – 0,712
ppm), dengan nilai tertinggi pada stasiun Beras Basah dan yang terendah pada
stasiun Selangan.
Hasil analisis biokonsentrasi
faktor logam berat Pb untuk ikan baronang (Siganus sp) pada hati
berkisar antara 0,044 – 0,287 ppm dan pada daging berkisar antara 0,272 - 0,721
ppm dengan nilai yang tertinggi pada stasiun Beras Basah. Besarnya kandungan
logam berat pada daging ini diduga karena selain logam berat masuk melalui
pencernaan dapat masuk melalui penetrasi, selain itu diduga tingginya logam
berat Pb pada daging dikarenakan tingginya kadar logam Pb pada air dibandingkan
akumulasi logam berat Pb di lamun, akibatnya akumulasi kandungan logam berat Pb
pada daging lebih besar nilainya daripada di hati. Menurut (Connel dan Miller
1995), akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi
logam berat dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktifitas
fisiologis.
Hasil analisis adsorpsi faktor
dan biokonsentrasi faktor seperti yang diuraikan diatas memperlihatkan bahwa
logam masuk ke badan air pasti akan mengalami pengendapan (presipitasi),
adsorpsi dan bioakumulasi. Besarnya nilai adsorpsi akan berkorelasi positif
dengan bioakumulasi, artinya setiap peningkatan nilai adsorpsi akan cenderung
selalu diikuti oleh peningkatan nilai bioakumulasi.
Hasil analisis biokonsentrasi faktor logam
berat Pb pada seluruh stasiun pengamatan, baik pada lamun maupun pada ikan
baronang (Siganus sp) dapat disimpulkan bahwa perairan yang mempunyai
nilai kandungan logam berat Pb yang rendah akan mempunyai nilai adsorpsi faktor
dan biokonsentrasi faktor (BCF) yang tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh sifat
logam berat yang mempunyai kecenderungan untuk mengendap karena memiliki massa
jenis yang lebih besar dari massa jenis air.
Logam berat akan terakumulasi pada sedimen
di dasar perairan. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat dan
mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, oleh karena itu kadar
logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Harahap, 1991).
Lamun mendapatkan nutrien untuk pertumbuhan dan perkembangan pada sedimen
melalui sistem perakaran sehingga logam berat yang terdapat pada sedimen akan
terabsorpsi ke jaringan lamun.
Sedangkan untuk ikan baronang (Siganus
sp) mendapatkan nutrien untuk perkembangan dan pertumbuhannya dari
makanannya (lamun) yang telah terakumulasi logam berat Pb, dikarenakan lamun
yang menjadi makanan ikan baronang (siganus sp) telah terakumulasi logam
berat Pb, maka akan terjadi proses perpindahan konsentrasi logam berat Pb dari
lamun ke dalam tubuh ikan baronang (Siganus sp) melalui proses
biomagnifikasi. Pada Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa nilai kandungan logam berat
Pb masih lebih tinggi di ikan baronang (Siganus sp) daripada di dalam
lamun.
Ikan tongkol (Euthynnus affinis)
yang digunakan dalam penelitian berasal dari TPI Muara Angke Jakarta. Ikan
tongkol ini ditangkap dari perairan sekitar pulau Kalimantan dengan menggunakan
kapal purse seine yang menggunakan lampu sebagai alat bantu
penangkapannya. Para nelayan banyak yang beroperasi ke daerah perairan sekitar
pulau Kalimantan, karena hasil tangkapannya cukup banyak. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Collete dan Nauen (1983), berdasarkan penyebarannya, ikan tongkol
banyak terdapat di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sepanjang khatulistiwa.
Ikan tongkol yang didaratkan
di TPI Muara Angke, secara organoleptik masih segar. Hal ini disebabkan
penyimpanan ikan tongkol di atas kapal dilakukan pada suhu beku, sehingga
kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Ikan mudah mengalami proses kemunduran
mutu, terutama ikan laut. Kualitas ikan yang baru didaratkan dari kapal di
beberapa daerah penangkapan di Indonesia sebagian sudah tidak segar lagi. Hal
ini disebabkan karena waktu melaut yang cukup lama ditambah dengan kondisi
pendinginan yang tidak baik memungkinkan kerusakan oleh aktivitas bakteri dan
enzim terus berlangsung selama proses penangkapan, pendaratan, pelelangan
maupun selama pemasaran ikan segar tersebut. Meskipun kondisi kesegaran ikan
tersebut sudah tidak baik umumnya beberapa pengolah tetap mengolah ikan
tersebut menjadi produk ikan asin atau pindang (Subaryono et al. 2004).
kan tongkol (Euthynnus affinis)
yang digunakan sebagai bahan penelitian, diamati morfologinya. Hasil yang
diperoleh berdasarkan pengamatan adalah memiliki ciri-ciri bentuk tubuhnya
memanjang sepert torpedo, Tak bersisik kecuali pada korselet dan garis rusuk.
Terdapat lunas kuat pada batang ekor diapit dua lunas kecil pada ujung
belakangnya. Terdapat dua lidah/cuping diantara sirip perutnya. Warna bagian
atas biru kehitaman, putih perak bagian bawah. Totol-totol hitam terdapat
diantara sirip dada dan perut.
Hasil karakteristik organoleptik ikan tongkol
disajikan pada Tabel 1.
Ikan tongkol yang hidup di perairan
sekitar pulau Kalimantan termasuk ikan perenang cepat yang salah satu cirinya
adalah mengandung daging merah, hal ini terlihat dari kandungan daging merah
yang terdapat dalam tubuhnya pada saat dilakukan pemisahan dengan daging putih.
Menurut Subaryono et al. (2004), jenis ikan tongkol memiliki kandungan
daging merah yang cukup tinggi yang biasanya mengandung cukup banyak senyawa
histidin bebas didalamnya, sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri pembentuk histidin.
Hasil penelitian terhadap
jumlah rendemen ikan tongkol (Euthynnus affinis) bahwa dari kandungan
total ikan tongkol sebesar 780 g terdiri dari jumlah terbesar t pada daging
yaitu 390 g (50%), tulang, kepala dan isi perut sebesar 320 g (41,03%), kulit
sebesar 40 g (5,13%), dan sisa berupa air sebesar 30 g (3,85%), jumlah rendemen
pada ikan tongkol
Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan
(edible portion) berkisar antara 45–50% dari tubuh ikan (Suzuki 1981),
Stanby (1963) menambahkan bahwa untuk kelompok ikan tuna, bagian ikan yang
dapat dimakan berkisar antara 50-60%.
Tingginya kandungan daging
pada ikan tongkol berhubungan dengan bentuk tubuhnya yaitu cerutu yang memiliki
bagian terbesar pada bagian perut yang banyak mengandung daging. Ikan tongkol
termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu.mempunyai
dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip
belakang (Saanin, 1983). Komposisi daging putih (37,18%) lebih banyak dari pada
daging merah (12,82%).
Menurut Okada (1990) dalam Rospiati (2006)
bahwa jumlah daging merah bervariasi mulai kurang dari 1–2% pada ikan yang
tidak berlemak hingga 20% pada ikan yang berlemak. Akande (1988)
Penelitian menjelaskan bahwa komposisi
daging putih ikan tuna lebih besar dibandingkan dengan daging merahnya yaitu
36,4% dan 20%.
komposisi proksimat daging
merah dan daging putih ikan tongkol disajikan pada Gambar 2. Komposisi
proksimat antara daging merah dan daging putih berbeda, kandungan proksimat tertinggi
pada daging ikan tongkol yaitu pada kandungan proteinnya yang mencapai antara
54,196% (daging merah) sampai 68,355% (daging putih), lemak berkisar antara
1,8% (daging putih) sampai 5,6% (daging merah), kadar abu berkisar antara
2,493% (daging putih) sampai 3,290% (daging merah) dan kadar air berkisar
antara 7,934% (daging merah) sampai 12,164% (daging putih)
Kadar protein daging putih (68,355%) lebih
tinggi dari pada daging merah (54,196%), hal ini telah dijelaskan oleh Akande
(1988) bahwa komposisi protein pada daging putih ikan tuna lebih tinggi dari
pada daging merahnya yaitu sekitar 30,92 %.
Kadar lemak pada daging merah
ikan tongkol sebesar 5,6 % dan lebih tinggi dibandingkan lemak pada daging
putihnya sebesar 1,8%. Learson dan Kaylor (1990) menjelaskan bahwa daging merah
kaya akan lemak, oksigen dan mengandung mioglobin. Okada (1990) dalam Rospiati
(2006) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan hemoglobin yang
bersifat prooksidan serta kaya akan lemak.
Kadar abu pada ikan tongkol hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai tertinggi diperoleh pada daging merah
sebesar 3,290% dan terendah pada daging putih sebesar 2,493%. Arias et al.
(2004) menjelaskan bahwa kandungan kadar abu pada daging putih ikan tongkol
yaitu 1,5%. Tingginya kadar abu pada daging merah mungkin disebabkan karena
pada daging merah terdapat banyak mineral yang terbawa oleh mioglobin dan
tersimpan dalam daging merah.
Kadar air tertinggi diperoleh
pada daging putih sebesar 12,164% dan terendah pada daging merah sebesar
7,934%. Tingginya kadar air pada daging putih mungkin disebabkan karena pada
daging putih terdapat kandungan protein yang tinggi. Menurut Suzuki (1981)
menjelaskan bahwa kadar air mempunyai hubungan terbalik dengan lemak, semakin
rendah lemak maka semakin tinggi kadar airnya.
Hasil analisis kualitatif senyawa kimia
terhadap daging ikan tongkol (Euthynnus affinis) disajikan pada Tabel 3.
Daging putih maupun daging merah mengandung alkaloid yang ditunjukkan pada
pelarut Dragendorf dengan terbentuknya endapan berwarna jingga, pada pelarut
Meyer terbentuk endapan berwarna putih kekuningan, dan pada pelarut Wagner
terbentuk endapan berwarna coklat.
Hampir seluruh alkaloid
berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Menurut
Othmer (1998), diketahui bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai
keaktifan biologis dan memberikan efek fisiologis tertentu pada mahluk hidup.
Alkaloid diketahui berasal dari sejumlah
kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik,
fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan
triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Klasifikasi pengelompokan alkaloid
biasanya didasarkan pada prekursor pembentuknya. Kebanyakan dibentuk dari asam
amino seperti lisin, tirosin, triptofan, histidin dan ornitin. Sebagai contoh,
nikotin dibentuk dari ornitin dan asam nikotina.
Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa pada
daging ikan tongkol baik daging merah dan daging putih juga mengandung senyawa
steroid. Hal ini mungkin dikarenakan dalam daging ikan tongkol terdapat senyawa
skualen dan senyawa karoten yang dapat membentuk senyawa steroid sebagai
senyawa turunannya. Sedangkan senyawa flavonoid dan tidak ditemukan dalam
daging ikan tongkol.
Hasil pengamatan terhadap
senyawa molisch pada daging ikan tongkol menunjukkan bahwa senyawa tersebut
terdapat dalam daging merah dan daging putih (Tabel 3). Adanya karbohidrat
dalam daging ikan tongkol yang menyebabkan uji molisch menjadi positif.
Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen yang
terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril (Hadiwiyoto 1993).
Dalam pandangan islam, semua
ikan atau makhluk yang hidup di dalam laut hukumnya halala untuk dimakan. Semua
itu tidak memandang apa itu sudah berbentuk bangkai ataupun yang belum mati. Tetapi
dengan berkembangnya zaman, air yang berada didalam laut tercemar hal-hal yang
dapat memberikan efek relatif bahaya bagi tubuh kita. Semua itu karena adanya
pembukaan besar-besaran terhadap industri tetapi tidak memikirkan bagaimana
efek terhadap lingkungan kita.
Dengan adanya demikian yang
menyebutkan bahwa sebagian besar ikan yang berada didalm laut terkontaminasi
hal-hal yang membahayakan kita, maka kita harus pintar-pintar untuk
menyiasatinya. Karena islam memberikan petujuk kepada kita memakan makanan yang
halal dan baik bagi tubuh kita. Tidak hanya melihat dari segi halalnya, tetapi
islam juga mempermasalahkan apakah makanan itu baik untuk kesehatan tubuh kita
ataupun tidak.
Dari hal-hal tersebut islam
mengajarkan kepada kita untuk mencari makanan yang halal dan baik serta dapat
mengetahui terlebih dahulu apakah makanan yang akan kita makan ada manfaatnya
ataupun malah hanya terdapat mudharatnya. Sehingga kita harus membuka pikiran
kita untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih, karena islam
bersifat universal yang dapat mengikuti perkembangan zaman.
3. Manfaat Isi Jurnal Bagi Perubahan
Mahasiswa dan Masyarakat pada Umumnya
3.1 Manfaat
bagi perubahan mahasiswa
Dari
telaah jurnal tersebut memberikan manfaat bagi mahasiswa yaitu agar mahasiswa
lebih dapat mengembangkan ilmu yang mereka kuasai untuk mempelajari semua
hal-hal yang baik ataupun bermanfaat bagi kita masyarakat umum agar tidak salah
dalam pemahaman hal-hal baru sesuai berjalannya perubahan zaman. Khususnya
dalam telaah jurnal ini membahas ikan konsumsi yang biasa kita makan
sehari-hari.
3.2 Manfaat
bagi perubahan masyarakat umumnya
Dari
pembahasan telaah jurnal ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum
yaitu memberikan mereka pengetahuan baru tentang hal-hal yang berubah sesuai
perubahan zaman. Masyarakat juga agar bisa lebih selektif terhadap pemilihan
makanan yang akan di konsumsi dalam kehidupan sehri-hari.
4.
Penutup
4.1 Kesimpulan
Dari telaah jurnal yang
berjudul kadar logam berat pb pada ikan beronang (siganus sp), lamun,
sedimen dan air di wilayah pesisir kota bontang-kalimantan timur dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Islam memberi petunjuk atau arahan kepada kita untuk
memakan makanan yang halal dan uga baik untuk diri kita.
2. Sebagian besar ikan dalam laut hanya bisa kita
konsumsi 40% - 50%, karena tercemar kandungan logam berat yang berbahaya bagi
tubuh kita bila dikonsumsi dalam jangka waktu panjang.
4.2 Saran
Saran yang dapat
disampaikan kepada pembaca adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya
lebih selektif memilih makanan yang baik bagi tubuh kita.
2. Sebaiknya
dapat mengembangkan penelitian tentang hal-hal yang lain yang bermanfaat bagi
kehidupan kita.
3. Sebaiknya
semua tindakan yang dilakukan didasarkan ajaran-ajarn islam.
DAFTAR PUSTAKA
Subramaniyan, S. and P. Prema. 2002. Biotechnology of Microbial
Xylanases : Enzymology, Molecular Biology and application. Critical Rev
Biotecnol 22: 33-64
Fulks, W. And K.I. Main. 1991. Rotifer and Microalgae Culture
Systems. Proceeding of a U.S. Asia Workshop. The Oceanic Institute, Honolulu.
Hawai. 364 p.
Hirata, H., A. Ishak, and S. Yamashaki. 1981. Effect of Salinity and
Temperature on The Growth of The Marine Phytoplankton Chlorella
saccharophila. Journal of the Kagoshima Univ of Fisheries. Japan. 30
(2) : 257-262.
Lingaiah V. and P Rajasekaran. 1986. Biodigestion of cowdung and
organic wastes mixed with oil cake in relation to energy in Agricultural Wastes
17(1986): 161-173
Richmond, A. 1986. CRC Handbook of Mikroalga Mass Culture. CRC Press
Ino. Florida. p. 156 – 190.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. PT. Medyatama sarana Perkasa.
Jakarta. Hlm. : 73-76.
Ukeles,
R. 1971. Nutritional equirements in shellfish culture In : K. S. Price Price
Jr. and D. L. Maurer (Eds). Nutritional equirements in shellfish culture.
Proch. Conf. On Artificial Propagation of Commercially Valuable
Shellfish-Oysters. Univ. Delaware, newrk. DE : 22-23 October 1963 : 43-64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar