Get me outta here!

Jumat, 27 Desember 2013

ANALISA KUALITAS RUMPUT LAUT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT BERDASARKAN KONDISI PERAIRAN DI DESA PAKANDANGAN SANGRA KECAMATAN BLUTO KABUPATEN SUMENEP UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT


ANALISA KUALITAS RUMPUT LAUT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT BERDASARKAN KONDISI PERAIRAN DI DESA PAKANDANGAN SANGRA KECAMATAN BLUTO  KABUPATEN SUMENEP UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


 Pemanfaatan wilayah pesisir selama ini masih terfokus pada usaha budidaya udang terutama pada dekade 1980 - 1990 karena udang merupakan komoditi ekspor. Namun pada tahun 1990 an, usaha budidaya udang merosot yang antara lain disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang menimbulkan adanya penyakit sehingga mengalami kegagalan. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan usaha budidaya yang ramah lingkungan, salah satunya adalah rumput laut (Aderhold, et al. 1996; Neori, et al. 1996; Shpigel and Neori, 1996; Buschmann, et al. 1996; Chung dan Kang, 2004; Langdo, et al. 2004; Matos, et al. 2006; Shimoda, 2006).
 Bertolak belakang dengan permintaan pasar rumput laut dunia yang semakin meningkat, namun ekspor rumput laut Indonesia dari tahun 1995 – 1998 cenderung menurun yaitu dari 28.104.654 ton dengan nilai ekspor 21.307.593 U$ pada tahun 1995 turun menjadi 4.425.776 ton dengan nilai ekspor 2.911.996 tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 2000). Demikian juga di Kabupaten Bima telah berkembang budidaya rumput laut, dimana pada tahun 2001 terdapat kegiatan budidaya rumput laut seluas 934 ha meningkat menjadi 1.825 ha pada tahun 2005. Namun sayangnya peningkatan skala usaha tersebut tidak diikuti oleh peningkatan teknologi dan regulasi pemerintah sehingga produksi biomass kering turun drastis dari 8.891,68 ton pada tahun 2001 menjadi 175 ton pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang parameter fisika, kimia dan biologi perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, tidak terhitung kekayaan yang terdapat di indonesia ini mulai dari ujung barat sabang sampai ujung timur merauke. Kekayaan itu sampai sekarang belum di maksimalkan oleh sumber daya manusia yang ada termasuk dalam dunia perikanan. Tidak dapat di pungkiri bahwa indonesia merupakan negara yang kaya akan wilayah perairan daripada wilayah daratan, tetapi kenyataan sekarang adalah indonesia belum bisa memanfaatkan semua sumber daya yang ada tersebut. Seharusnya dengan adanya hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri dan luar negeri apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang pantai 95.181 km merupakan kawasan pesisir dan lautan, memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar dan beragam. Sumberdaya hayati tersebut merupakan potensi pembagunan yang sangat penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008) Potensi perairan laut yang dapat dimamfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya laut, diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta dan 1,85 juta Ha, diperuntukkan bagi pengembangan budidaya makroalga. Salah satu komoditas makroalga yang bernilai ekonomi penting dan budidayanya telah berkembang adalah rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii atau lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii (Doty 1985). Rumput laut merupakan salah satu dari komoditas utama program revitalisasi perikanan yang diharapkan berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Komoditas terpenting usaha budidaya perikanan adalah ikan, udang, kekerangan dan rumput laut. Budidaya rumput laut di Indonesia menjadi bagian sangat penting karena menpunyai potensi yang sangat tinggi. Perairan laut yang sesuai untuk budidaya rumput laut lebih dari 1,1 juta hektar, kalau dengan asumsi produksi rata-rata 10 ton/ha/thn saja maka produksi dapat mencapai 11 juta ton/thn. Di laut budidaya rumput laut bisa dipolikultur dengan budidaya mutiara seperti yang dilakukan di Buton Sulawesi Tenggara.
Keberhasilan budidaya rumput laut selain didukung oleh kondisi alam Indonesia yang potensial untuk budidaya juga didukung oleh meningkatnya permintaan pasar dunia (Murdinah dkk ., 2002). Produksi rumput laut Indonesia berada pada posisi kedua di dunia dengan total produksi 25.000 ton per tahun.Sedangkan pisisi pertama yaitu Chili, produksi per tahunnya 50.000 ton. Produksi rumput laut dalam negeri, didominasi oleh Sulawesi Selatan (Iskandar, 2010)
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat khususnya masyarakat pesisir dalam mengembangkan sumberdaya tersebut, maka budidaya rumput laut berkembang pesat. Kondisi tersebut memungkinkan bakal menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia . Ada beberapa faktor yang menentukan pertumbuhan dan kualitas rumput laut adalah lokasi budidaya.
 Hal yang harus diperhatikan dalam budidaya rumput laut adalah kesesuaian lahan, penguasaan teknologi budidaya, dan musim. Penyediaan benih, hasil budidaya yang tidak kontinu, atau masa pertumbuhan rumput laut lambat dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung akibat infeksi penyakit, merupakan masalah yang sering dihadapi oleh pembudidaya rumput laut.
Usaha pengembangan budidaya rumput laut secara luas sangat layak dilakukan, karena usaha ini memiliki keunggulan antara lain :
 Budidaya sederhana (relatif mudah)
 Masa pemeliharaan singkat
 Biaya usaha tidak terlalu besar (relatif murah)
 Tidak merusak lingkungan
 Masyarakat sekitar mau menerima
 Mudah untuk dipasarkan
Keberhasilan usaha budidaya rumput laut sangat tergantung pada berbagai hal yang saling terkait antara lain :
 Pemilihan lokasi yang sesuai
 Penyediaan bibit yang berkualitas
 Penanaman bibit yang tepat
 Pemilihan cara budidaya yang cocok
 Perawatan yang rutin
 Pengendalian hama dan penyakit yang akurat
 Pemanenan dan penanganan pasca panen yang benar

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kondisi lingkungan perairan di desa Pakandangan Sangra kecamatan Bluto  kabupaten Sumenep?
2.      Bagaimana proses budidaya rumput laut?
3.      Apa kendala dalam budidaya rumput laut?

1.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas didapatkan tujuan penulisan sebagai berikut:
1.      Mengetahui bagaimana kondisi lingkungan perairan di desa Pakandangan Sangra kecamatan Bluto  kabupaten Sumenep.
2.      Mengetahui bagaimana proses budidaya rumput laut.
3.      Mengetahui kendala dalam budidaya rumput laut.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai persyaratan dan tugas dalam ujian akhir semester. Selain itu makalah ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca bagaimana analisa kualitas rumput laut berdasarkan kondisi perairan di desa pakandangan sangra kecamatan bluto  kabupaten sumenep untuk budidaya rumput laut.











BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Lingkungan Perairan Di Desa Pakandangan Sangra Kecamatan Bluto  Kabupaten Sumenep
Berdasarkan penelitian dari jurnal Efektifitas em4 (effective microorganism)  Terhadap pertumbuhan rumput laut e.cottoni  Di desa pakandangan sangra kecamatan bluto  Kabupaten sumenep didapatkan hasil-hasil yang dijabarkan dalam pembahasan.  Suhu perairan mengalami perubahan secara mendadak baik pagi maupun sore hari disebabkan saat penelitian, sering mendung maupun hujan. Suhu terendah terjadi pada minggu ke-1 dan minggu ke-5 yaitu 26 °C dan suhu tertinggi terjadi pada minggu ke-4 yaitu 30 °C. Menurut Syaputra (2005), suhu perairan yang menunjang kehidupan beberapa jenis rumput laut berkisar 24-31 °C. Suhu perairan pada lokasi penelitian baik untuk pertumbuhan rumput laut.
Salinitas pada minggu ke-0 pada pagi hari 32 ‰ dan sore hari 30 ‰ dan minggu ke-1 pagi hari 29 ‰ dan sore hari 25 ‰, karena di lokasi penelitian terjadi hujan. Menurut Sulistijo (1994) bahwa salinitas perairan pada lokasi budidaya sebaiknya dalam kondisi kadar garam air laut sekitar 24 – 32 ‰. Menurut Doty (1985) bahwa, rumput laut tumbuh baik pada salinitas yang tinggi berkisar 29 – 34 ‰ dan optimal pada salinitas 33 ‰.
Nilai pH tertinggi terjadi pada minggu ke-0 yaitu 7,6 dan nilai pH terendah terjadi pada minggu ke-3 yaitu 6,9. Hal ini menunjukkan bahwa pH pada lokasi tersebut saat penelitian cocok untuk pertumbuhan rumput laut. Nilai kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan rumput laut E.cottonii berkisar 6 – 9, dan pertumbuhan optimal pada pH 7,55 – 8,0 (Amiluddin, 2007).
Menurut Anggadiredja et al (2006), E.cottonii tumbuh baik pada kecerahan 2-5 m dan pertumbuhannya cukup baik pada kisaran 1,5 m. Kecerahan tertinggi terjadi pada minggu ke-3 yaitu 63 cm pada sore hari dan terendah terjadi pada minggu ke-0 yaitu 20 cm pada sore hari. Pada lokasi penelitian didapatkan nilai kecerahan yang relatif kecil dibandingkan dengan ideal. Rendahnya kecerahan perairan di lokasi penelitian disebabkan banyaknya partikel yang terlarut dan tersuspensi dan yang dijumpai pada tanaman rumput laut yaitu menempelnya suspensi lumpur.
Kecepatan arus tertinggi terjadi pada minggu ke-1 yaitu 31,5 cm/detik pada pagi hari. Kecepatan arus terendah pada minggu ke-2 dan minggu ke-3 yaitu 26,8 cm/detik menunjukkan bahwa kecepatan arus pada lokasi tersebut cocok untuk pertumbuhan rumput laut. Sesuai dengan pernyataan Apriyana (2006) bahwa pergerakan air yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20 – 40 cm/det
Nilai nitrat tertinggi terjadi pada minggu ke-3 yaitu 1,68 mg/l. Nilai nitrat terendah terjadi pada minggu ke-4 yaitu 0,28 mg/l. Nilai nitrat yang diamati selama penelitian masih dalam kisaran yang dapat ditolerir sehingga dapat mendukung pertumbuhan rumput laut.
Nilai fosfat tertinggi di lokasi penelitian terjadi pada minggu ke-3 yaitu 0,16 mg/l. Kemungkinan yang menyebabkan tingginya fosfat adalah gelombang laut yang terlihat secara langsung pada lokasi penelitian rumput laut cukup besar yang bisa menyebabkan pengadukan massa air dan mengangkat kandungan fosfat yang terdapat di dasar perairan naik ke permukaan. Hal ini sesuai pendapat Simanjutak (2006).

2.2 Proses Budidaya Rumput Laut
Rumput laut yang sangat populer dibudidayakan di laut saat ini adalah kelompok penghasil karaginan (karagenofit) yaitu Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum ( ilmuwan lebih banyak menyebut Kappaphycus alvarezii dan E. denticulatum). Eucheuma cottonii lebih dikenal dengan rumput laut kotoni mempunyai dua varietas coklat dan hijau, sedangkan E. spinosum di berbagai daerah disebut beda-beda antara lain : Agar-agar geser (Seram), agar-agar kasar (Makasar), agar-agar patah tulang (Kep. Seribu), agar-agar kembang (Sulawesi Tengah).

2.2.1         Pra Produksi

1.       Pemilihan Lokasi
Langkah pertama sebagai kunci utama keberhasilan usaha budidaya rumput adalah pemilihan lokasi yang tepat, hal ini dapat dimengerti karena pertumbuhan rumput laut ditentukan oleh kondisi perairan yang sesuai.
Persyaratan umum lokasi :
a. Relatif jauh dari muara sungai.
b. Perairan tidak tercemar.
c. Secara alami terdapat pertumbuhan rumput laut atau lamun.
d. Dasar perairan sebaiknya pasir berbatu karang.
e. Peruntukan lokasi diatur oleh Rencana Umum Tata Ruang Daerah/wilayah.
f. Fluktuasi tahunan kualitas air, seperti Tabel 2
        Tabel 2
No
Parameter
Satuan
Kisaran
1
Suhu
c
26-32
3
Sa;imitas
g/lt
28-34
3
pH
=
7-8,5

3           Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit yang baik merupakan salah satu kegiatan yang sangat menentukan keberhasilan usaha. Bibit yang tersedia dalam jumlah yang memadai, berkualitas dan berkesinambungan merupakan salah satu kunci sukses usaha. Penyediaan bibit bisa berasal dari alam, budidaya atau kebun bibit. Disamping itu pemerintah (KKP) juga telah menyediakan Pusat Pengembangan Bibit Rumput Laut (Pusrumla).
Untuk mendapatkan pertumbuhan rumput yang optimal bibit yang digunakan harus berkualitas oleh karena itu perlu dilakukan seleksi bibit dengan kriteria sebagai berikut :
a. Umur bibit antara 25-30 hari.
b. Bobot 50-100 g setiap titik ikat.
c. Bercabang banyak, rimbun dan runcing.
d. Tidak terdapat bercak-bercak dan terkelupas.
e. Warna spesifik (cerah) khas rumput laut.
f. Tidak terkena penyakit.

4            Pengikatan Bibit
Pengikatan bibit sebaiknya dilakukan cepat setelah bibit tersedia. Pengikatan bibit dikenal ada tiga cara yaitu :
a. Cara simpul pita
b. Cara loop pendek
c. Cara loop panjang
Masing-masing cara mempunyai kelemahan dan kelebihan
 Cara simpul pita biasanya menggunakan tali rafia mudah dikerjakan tetapi tali raffia tidak tahan lama sehingga harus sering diganti.
 Cara loop pendek pengikatan bibit lebih kaku tetapi cara pemasangan lebih cepat dan lebih kuat.
 Cara loop panjang pengikatan bibit lebih mudah tetapi mudah terbelit bila arus relatif besar
Cara pengikatan bibit dilakukan sebagai berikut :
a. Bibit diikatkan pada tali titik berjarak 25 cm – 30 cm dengan berat 50 – 100 gr setiap tiik ikat
b. Pengikatan dengan simpul pita pengikatan dilakukan sedikit longgar.
c. Pengikatan bibit dilakukan didarat, tempat yang teduh dan bersih atau langsung di laut pada metode lepas dasar
d. Bibit dijaga dalam keadaan basah atau lembab.

2.2.2 Produksi

1. Metode Lepas Dasar
Metode lepas dasar adalah cara menumbuhkan rumput laut diatas dasar perairan (10-50 cm) dengan menggunakan tali yang diikatkan pada patok yang dipasang secara teratur. Areal yang digunakan untuk metode ini sebaiknya diatas lahan yang relatif datar agar dapat dipasang patok yang berbentuk segi empat, jarak antara patok 25-30 cm, tinggi patok diatas permukaan dasar perairan, 40% dari panjang patok dan yang tertamam didasar perairan 60%, jarak tali utama dari dasar perairan minimal 10 cm..


1) Peralatan
a. Tali utama yang menghubungkan patok dengan patok adalah multifilament polyethilene (PE) ukuran 6 mm.
b. Tali ris utama dan tali ris bentang multifilament polythilene (PE) 4 mm.
c. Patok kayu atau bambu berdiameter minimal 5 cm.
d. Patok besi berdiameter minimal 2 cm.
e. Keranjang.
f. Tali rafia.

2) Penanaman
Bibit yang telah diikat pada tali titik segera diikatkan pada tali ris yang telah disediakan dengan jarak 15 cm sampai 30 cm dipasang pada saat surut.

3) Pemeliharaan
a. Kontrol secara rutin dilakukan untuk memantau perkembangan bibit yang ditanam dan hama penyakit.
b. Penyulaman dilakukan pada minggu pertama jika ada bibit yang rontok ataupun lepas.
c. Penyiangan setiap minggu jika ada gulma.
d. Membersihkan benda asing yang menempel pada rumput laut.
e. Pemeliharaan dilakukan minimal 45 hari.



2.      Metode Long-line
Metode long-line adalah cara membudidayakan rumput laut dikolom air (eupotik) dekat permukaan perairan dengan menggunakan tali yang dibentangkan dari satu titik ke titik yang lain dengan panjang 25-50 m, dapat dalam bentuk lajur lepas atau terangkai dalam bentuk segiempat dengan bantuan pelampung dan jangkar.
- Konstruksi

1) Bentuk Konstruksi
 Konstruksi Berbingkai
a. Konstruksi terbuat dari tali utama yang disusun membentuk segiempat berukuran minimal 25x100 meter, maximal 50x100 meter dan pada setiap sudut dipasang pelampung utama.
b. Setiap 25 meter pada sisi 100 meter diberi tali pembantu dan pelampung pembantu yang berfungsi mempertahankan ukuran konstruksi.
c. Tali ris bentang dengan panjang 25x50 meter diikatkan pada tali utama berjumlah 99 tali ris bentang dengan jaral 100 cm.
d. Pada setaiap tali ris bentang dipasang minimal 125 titik, maksimal 250 titik dengan jarak antara titik minimal 20 cm.
e. Konstruksi tersebut diapungkan dipermukaan air dan ditambatkan dilokasi menggunakan pemberat jangkar disetiap ujung sudut dan pelampung pembantu.
f. Pelampung ris bentang diikat pada tali ris bentang masing-masing 5-10 buah.
Tabel 4. Ukuran Konstruksi dan Jumlah Pelampung
No
Ukuran Konstruksi (m)
Jumlah Pelampung Utama (buah)
Jumlah Pelampung Pembantu (Buah)
Jumlah Pelampung ris Bentang (Buah)
Jumlah
jangkar
(buah)

1
25x100
4
8
250
16
2
50x100
4
10
500
18

 Konstruksi Lajur
a. Konstruksi tali ris bentang dengan panjang 50-100 meter yang kedua ujungnya diberi pelampung.
b. Konstruksi tersebut diikat dengan tali jangkar atau tali pancang dengan panjang tali jangkat 3kali kedalaman perairan.
c. Pada tali ris bentang dipasang pelampung berjarak 2-3 meter.

2) Kriteria Bahan Konstruksi
a. Tali jangkar : polyethylene (PE) diameter minimal10 mm.
b. Tali utama : polyethylene (PE) diameter minimal10 mm.
c. Tali pembantu : polyethylene (PE) diameter minimal 6 mm.
d. Tali ris bentang : polyethylene (PE) diameter 4-5 mm.
e. Tali titik : polyethylene (PE) 1-1,5 mm, tali rafia 40 cm.
f. Jangkar : beton, besi, batu, karung pasir dengan berat minimal 50 kg/ buah atau pancang (bambu, kayu dan besi).
g. Pelampung utama : jerigen pelastik minimal 25 liter atau bahan pelampung lain.
h. Pelampung pembantu : jerigen plastik minimal 20 liter atau bahan pelampung lain yang tidak mencemari lingkungan.
i. Pelampung ris bentang : botol plastik bervolume 600 ml atau bahan pelampung.


3) Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan minimal 45 hari. Selama masa pemeliharaan dilakukan pengontrolan minimal 3 kali seminggu untuk :
a. Mengetahui perkembangan kondisi bibit yang ditanam, hama dan penyakit.
b. Mengetahui perlu tidaknya dilakukan penyulaman pada minggu pertama, jika ada bibit yang rontok atau lepas.
c. Penyiangan gulma dan pembersihan sampah yang menempel pada rumput laut.

2. Metode Rakit Bambu Apung
Metode rakit bambu apung adalah cara membudidayakan rumput laut dikolom air (eupotik) dekat dengan permukaan perairan dengan menggunakan tali yang diikatkan pada konstruksi rakit bambu apung .

1) Konstruksi
Konstruksi terdiri dari :
a. Bambu : Berumur tua diameter 8-10 cm, lurus dan tidak pecah.
b. Tali jangkar : Tali polyethylene (PE) minimal 4 mm.
c. Tali ris bentang : Tali polyethylene (PE) 2 mm atau tali raffia panjang minimal 40 cm.
d. Jangkar : Beton, besi, batu, karung berisi pasir dengan berat minimal 50 kg /buah atau pancang minimal 2 buah.

2) Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan minimal 45 hari. Selama masa pemeliharaan dilakukan pengontrolan minimal 3 kali seminggu untuk :
a) Mengetahui perkembangan kondisi bibit yang ditanam, hama dan penyakit.
b) Mengetahui perlu tidaknya dilakukan penyulaman pada minggu pertama, jika ada bibit yang rontok atau terlepa.
c) Penyiangan gulma dan pembersihan sampah yang menempel pada rumput laut.


2.2.3 Panen
Panen selektif ; dilakukan, dengan cara memotong tanaman secara langsung tanpa melepas ikatan dari tali ris. Keuntungan cara ini adalah penghematan tali raffia pengikat rumput laut namun memerlukan waktu kerja yang relatif lama. Pemotongan sebaiknya menggunakan alat pemotong yang tajam agar tidak merusak jaringan thalus sehingga akan muncul percabangan thalus yang baik. Sisa pangkal tanaman akan diberiakn tumbuh kembali untuk membentuk tanamn baru. Berdasarkan informasi yang ada, panen selektif umumnya hanya dapat dilakukan selam tiga kali dan setelah itu sebaiknya dilakukan panen secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pangkal tali rumput laut yang tersisa semakin tua sehingga cendrung pertumbuhannya akan lambat.
Panen total ; cara panen keseluruhan dilakukan dengan mengangkat seluruh tanaman sekaligus, sehingga waktu kerja yang diperlukan relatif lebih singkat dibanding cara panen sebelumnya. Sebaliknya, penanaman bibit selanjutnya harus dilakukan dari awal dengan mengikat bibit ke tali risdan memasangnya kembali kelokasi budidaya.
Panen rumput laut secara keseluruhan pada metode lepas dasar, rakit apungdan longline dilakukan dengan cara :
a. Sebelum di panen, rumput laut dibersihkan dari kotoran atau tanaman lain yang menempel, dimana kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada pagi hari.
b. Tal iris yang akan dipanen dilepaskan dari bamboo atau tali utama, kemudian digulung secara perlahan agar tali ris tidak saling terkait.
c. Gulungan tali ris yang berisi ikatan rumput laut diletakan disampan atau wadah transportasi lainya.
d. Rumput laut dibawa kedaratan untuk di lepaskan ikatan rumput laut dari tali ris secara keseluruhan atau hasil ikatan di lepas setelah itu jemur total.
e. Hasil panen segerah dijemur sampai kering atau disesuaikan dengan cara penjemuran yang dipilih.
f. Ukuran hasil panen minimal 200 gr/rumpun

2.2.4. Penanganan Pascapanen
Seperti telah disebutkan diatas, kualitas rumput laut dipenghuni oleh tiga hal penting, yaitu teknik budidaya umur panen, dan penangan pascapanen. Penanganan pascapanen merupakan merupakan kegiatan atau proses yang dimulai sejak setelah tanam dipanen, yaitu meliputi pencucian, pengeringan, pembersihan kotoran atau garam (sortasi), pengepakan, pengangkutan dan penyimpanan.
1.      Pencucian
2.      Pengeringan atau penjemuran
3.      Pembersihan Kotoran atau Garam (sortasi)
4.      Pengepakan
5.      Pengangkutan
6.      Penyimpanan atau penggudangan

2.3     Kendala Dalam Budidaya Rumput Laut
Usaha pengembangan rumput laut sering dihadapkan pada masalah keberadaan hama dilokasi budidaya. Hama rumput laut dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yakni hama mikro (micro grazer) dan hama makro (macro grazer). Hama mikro merupakan organisme yang berukuran kurang dari 2 cm dan hidup menempel pada thalus rumput laut seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp). Larva bulu babi melayang-layang di air dan kemudian menempel pada tanaman rumput laut sehingga dapat menutupi permukaan thalus yang menyebabkan thalus warna kuning. Seperti halnya dengan larva bulu babi, larva teripang juga akan menempel pada thalus kemudian setelah membesar akan memakan langsung rumput laut sehingga thalus rusak, terkelupas bahkan patah.
Hama makro : hama makro merupakan hama dengan ukuran relatif besar yang di jumpai pada tanaman rumput laut antara lain ikan baronang (Siganus sp), bintang laut (Protoneutes nodulus), bulu babi (Diadema dan Trineustes sp) dan penyu hijau (Cheloniamidas). Serangan ikan baronang umumnya musiman sehingga setiap daerah memiliki waktu serangan yang beebeda. Upaya yang di lakukan untuk menanggulangi hama tersebuta adalah dengan cara memperbaiki/memodifikasi teknik budidaya, sehingga tanaman budidaya berada pada posisi permukaan air dan diharapkan serangan dapat dikurangi. Selain itu sebaiknya diterapkan pola tanam yang serentak pada lokasi yang luas serta melindungi areal budidaya dengan memasang pagar dari jaring. Epifit sejati : hama tersebut dikenal dengan alga penempel yang dapat menyebabkan kronis, misalnya ganggang suari dapat menempel pada lapisan kortikal sehingga dapat merusak thalus rumput laut.
Beberapa tindakan yang mungkin dapat dilakukan dalam upaya pengendalian hama rumput lain antara lain :
a. Lokasi yang dipilih adalah habitat yang tidak terdapat populasi endemic hama, atau dapat juga menggunakan metode penanaman rumput laut dipermukaan atau beberapa meter diatas dasar perairan.
b. Upayakan melakukan penanaman secara serentak dan meluas sampai titik jenuh dimana hama tidak sebanding biomasa dari produksi total, dimana cara tersebut merupakan paling popular dilakukan.
c. Gunakan jaring sebagai pagar atau pembungkus pada daerah-daerah tertentu misalnya pada produksi benih (kebun bibit) agar hama besar misalnya penyu tidak masuk.
d. Tangkap hama ikan yang sering mengganggu, dimana ikan herbivora (baronang) sebagai hama rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai iakn konsumsi.
e. Langkah terakhir, apabila hama telah merajalela dan tidak dapat diatasi maka rumput laut sebaiknya di panen atau dipindahkan/atau menggantinya dengan bibit yang sehat pada musim hama telah berlalu. Penyakit ice-ice (sebagian orang menyebutnya penyakit white spot) merupakan kendala utama budidaya rumput laut Kappachicus atau Eucheuma. Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit tersebut antara lain : pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thalus menjadi pucaat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thalus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk. Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus, suhu, dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam periran juga merupakan penyebab munculnya penyakit tersebut. Beberapa faktor abiotik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab munculnya penyakit ice-ice pada budidaya rumput laut adalah kurangnya densitas cahaya, salinitas kurang dari 20 ppt, dan temperature mencapai 33-35 C. beberapa jenis bakteri telah diisolasi dari thalus yang terkena penyakit tersebut namun bakteri tersebut diduga hanya merupakan penyebab kedua (secondary impact) penyakit ini dapat di tanggulangi dengan cara menurunkan posoisi tanaman lebih dalam dari posisis semula untuk mengurangi penetrasi sinar matahari atau memindahkan pada tempat yang lebih aman dengan kondisi lingkungan yang mendukung.

BAB III
KESIMPULAN
     Berdasarkan pembahasan diatas didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kondisi lingkungan perairan di desa Pakandangan sangra kecamatan Bluto  kabupaten Sumenep secara umum baik untuk dilakukan kegiatan budidaya rumput laut.
2.      Proses budidaya rumput laut terdiri dari tahap pra produksi, produksi, pemanenan serta pasca panen.
3.      Kendala yang dialami dalam budidaya rumput laut berupa hama baik hama makro ataupun mikro dan penyakit.



DAFTAR PUSTAKA
Aderhold, D. Williams, CJ. and Edyvean, GJ. 1996. The Removal of Heavy Metal Ions by Seaweeds and Their Derivatives Bioresource Tecnology. Science Limited Printed in Great Britain.
Amiluddin, N. M. 2007. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice-ice Di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Tesis. IPB. Bogor.
Anggadiredja, J., S. Irawati dan Kusmiyati. 2006. Rumput laut : Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Jakarta.
Apriyana, D. 2006. Studi Hubungan Karaketristik Habitat Terhadap Kelayakan Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Alga Eucheuma spinosum di Perairan Kec. Bluto Kab. Sumenep [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistik, 2005. Bima Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima. Jakarta
Biro Pusat Statistik, 2000. Ekspor Statistik Perdagangan Hasil Laut Negeri Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Doty MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp.nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia. Di dalam: Abbot IA,
Doty MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp.nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia. Di dalam: Abbot IA, Norris JN (editors). Taxonomy of Economic Seaweeds. California Sea Grant College Program.
Fattah, Nurlaelah, dkk.. Analisis performa biologis dan kualitas rumput laut Jenis kappaphycus alvarezii pada kondisi lingkugan Perairan yang berbeda.
Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan. 2011. Budidaya rumput laut. Jakarta
Norris JN (editors). Taxonomy of Economic Seaweeds. California Sea Grant College Program
Murdinah,M.D.Erlina,Th.D.Suryaningrum, A.H.Purnomo,U.Rahayu,Y.Sudrajat, 2002. Riset Ekstraksi karaginan skala semi komersial. Laporan Tahunan Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.Jakarta
Simanjuntak, M. 2006. Kadar Fosfat, Nitrat dan Silikat Kaitannya Dengan Kesuburan Di Perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Pusat Penelitian Oseanografi Lipi. Jakarta.
Sirajuddin. M. 2009. Informasi Awal Tentang Kualitas Biofisik Perairan Teluk Waworada Untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Early Information About Bio-Physical Quality Of Seaweed Culture (Eucheuma Cottonii) In Waworada Bay, Bima Regency. Mahasiswa Pascasarjana (S2) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Bima
Syaputra,Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cotonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Perlakuan Jarak Tanam di Teluk Lhok. Seudu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.