ANALISA KUALITAS RUMPUT LAUT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT
BERDASARKAN KONDISI PERAIRAN DI DESA
PAKANDANGAN SANGRA KECAMATAN BLUTO
KABUPATEN SUMENEP UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pemanfaatan wilayah pesisir selama ini masih
terfokus pada usaha budidaya udang terutama pada dekade 1980 - 1990 karena
udang merupakan komoditi ekspor. Namun pada tahun 1990 an, usaha budidaya udang
merosot yang antara lain disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang menimbulkan
adanya penyakit sehingga mengalami kegagalan. Untuk mengantisipasi hal tersebut
diperlukan usaha budidaya yang ramah lingkungan, salah satunya adalah rumput
laut (Aderhold, et al. 1996; Neori, et al. 1996; Shpigel and
Neori, 1996; Buschmann, et al. 1996; Chung dan Kang, 2004; Langdo, et
al. 2004; Matos, et al. 2006; Shimoda, 2006).
Bertolak belakang dengan permintaan
pasar rumput laut dunia yang semakin meningkat, namun ekspor rumput laut
Indonesia dari tahun 1995 – 1998 cenderung menurun yaitu dari 28.104.654 ton
dengan nilai ekspor 21.307.593 U$ pada tahun 1995 turun menjadi 4.425.776 ton
dengan nilai ekspor 2.911.996 tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 2000). Demikian
juga di Kabupaten Bima telah berkembang budidaya rumput laut, dimana pada tahun
2001 terdapat kegiatan budidaya rumput laut seluas 934 ha meningkat menjadi
1.825 ha pada tahun 2005. Namun sayangnya peningkatan skala usaha tersebut
tidak diikuti oleh peningkatan teknologi dan regulasi pemerintah sehingga
produksi biomass kering turun drastis dari 8.891,68 ton pada tahun 2001 menjadi
175 ton pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 2005). Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian tentang parameter fisika, kimia dan biologi perairan untuk
pengembangan budidaya rumput laut.
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, tidak terhitung kekayaan yang
terdapat di indonesia ini mulai dari ujung barat sabang sampai ujung timur
merauke. Kekayaan itu sampai sekarang belum di maksimalkan oleh sumber daya
manusia yang ada termasuk dalam dunia perikanan. Tidak dapat di pungkiri bahwa
indonesia merupakan negara yang kaya akan wilayah perairan daripada wilayah
daratan, tetapi kenyataan sekarang adalah indonesia belum bisa memanfaatkan
semua sumber daya yang ada tersebut. Seharusnya dengan adanya hal tersebut
dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri dan luar
negeri apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
Indonesia
sebagai negara kepulauan dengan panjang pantai 95.181 km merupakan kawasan
pesisir dan lautan, memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar dan
beragam. Sumberdaya hayati tersebut merupakan potensi pembagunan yang sangat
penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru (Departemen Kelautan dan
Perikanan, 2008) Potensi perairan laut yang dapat dimamfaatkan untuk
pengembangan usaha budidaya laut, diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta dan
1,85 juta Ha, diperuntukkan bagi pengembangan budidaya makroalga. Salah satu
komoditas makroalga yang bernilai ekonomi penting dan budidayanya telah
berkembang adalah rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii atau lebih
dikenal dengan nama Eucheuma cottonii (Doty 1985). Rumput laut merupakan
salah satu dari komoditas utama program revitalisasi perikanan yang diharapkan
berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Komoditas
terpenting usaha budidaya perikanan adalah ikan, udang, kekerangan dan rumput
laut. Budidaya rumput laut di Indonesia menjadi bagian sangat penting karena
menpunyai potensi yang sangat tinggi. Perairan laut yang sesuai untuk budidaya
rumput laut lebih dari 1,1 juta hektar, kalau dengan asumsi produksi rata-rata
10 ton/ha/thn saja maka produksi dapat mencapai 11 juta ton/thn. Di laut
budidaya rumput laut bisa dipolikultur dengan budidaya mutiara seperti yang
dilakukan di Buton Sulawesi Tenggara.
Keberhasilan
budidaya rumput laut selain didukung oleh kondisi alam Indonesia yang potensial
untuk budidaya juga didukung oleh meningkatnya permintaan pasar dunia (Murdinah
dkk ., 2002). Produksi rumput laut Indonesia berada pada posisi kedua di
dunia dengan total produksi 25.000 ton per tahun.Sedangkan pisisi pertama yaitu
Chili, produksi per tahunnya 50.000 ton. Produksi rumput laut dalam negeri,
didominasi oleh Sulawesi Selatan (Iskandar, 2010)
Seiring dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat khususnya masyarakat pesisir dalam
mengembangkan sumberdaya tersebut, maka budidaya rumput laut berkembang pesat.
Kondisi tersebut memungkinkan bakal menjadi produsen rumput laut terbesar di
dunia . Ada beberapa faktor yang menentukan pertumbuhan dan kualitas rumput
laut adalah lokasi budidaya.
Hal yang harus diperhatikan dalam budidaya
rumput laut adalah kesesuaian lahan, penguasaan teknologi budidaya, dan musim.
Penyediaan benih, hasil budidaya yang tidak kontinu, atau masa pertumbuhan
rumput laut lambat dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung akibat infeksi
penyakit, merupakan masalah yang sering dihadapi oleh pembudidaya rumput laut.
Usaha
pengembangan budidaya rumput laut secara luas sangat layak dilakukan, karena
usaha ini memiliki keunggulan antara lain :
Budidaya sederhana (relatif mudah)
Masa pemeliharaan singkat
Biaya usaha tidak terlalu besar (relatif murah)
Tidak merusak lingkungan
Masyarakat sekitar mau menerima
Mudah untuk dipasarkan
Keberhasilan
usaha budidaya rumput laut sangat tergantung pada berbagai hal yang saling
terkait antara lain :
Pemilihan lokasi yang sesuai
Penyediaan bibit yang berkualitas
Penanaman bibit yang tepat
Pemilihan cara budidaya yang cocok
Perawatan yang rutin
Pengendalian hama dan penyakit yang akurat
Pemanenan dan penanganan pasca panen yang benar
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
kondisi lingkungan perairan di desa
Pakandangan Sangra kecamatan Bluto kabupaten Sumenep?
2.
Bagaimana proses budidaya rumput laut?
3.
Apa kendala dalam budidaya rumput laut?
1.3
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
uraian rumusan masalah di atas didapatkan tujuan penulisan sebagai berikut:
1.
Mengetahui
bagaimana kondisi lingkungan perairan di desa Pakandangan Sangra kecamatan Bluto kabupaten
Sumenep.
2.
Mengetahui bagaimana proses budidaya rumput laut.
3.
Mengetahui kendala dalam budidaya rumput laut.
1.4
Manfaat
Penulisan
Manfaat
penulisan makalah ini adalah sebagai persyaratan dan tugas dalam ujian akhir
semester. Selain itu makalah ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca
bagaimana analisa kualitas rumput laut berdasarkan kondisi perairan di desa pakandangan sangra kecamatan
bluto kabupaten sumenep untuk
budidaya rumput laut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Lingkungan Perairan Di Desa Pakandangan Sangra Kecamatan Bluto Kabupaten
Sumenep
Berdasarkan
penelitian dari jurnal Efektifitas em4
(effective microorganism) Terhadap pertumbuhan rumput laut e.cottoni
Di desa pakandangan sangra kecamatan bluto Kabupaten
sumenep didapatkan hasil-hasil yang dijabarkan dalam pembahasan. Suhu
perairan mengalami perubahan secara mendadak baik pagi maupun sore hari
disebabkan saat penelitian, sering mendung maupun hujan. Suhu terendah terjadi
pada minggu ke-1 dan minggu ke-5 yaitu 26 °C dan suhu tertinggi terjadi pada
minggu ke-4 yaitu 30 °C. Menurut Syaputra (2005), suhu perairan yang menunjang
kehidupan beberapa jenis rumput laut berkisar 24-31 °C. Suhu perairan pada
lokasi penelitian baik untuk pertumbuhan rumput laut.
Salinitas
pada minggu ke-0 pada pagi hari 32 ‰ dan sore hari 30 ‰ dan minggu ke-1 pagi
hari 29 ‰ dan sore hari 25 ‰, karena di lokasi penelitian terjadi hujan.
Menurut Sulistijo (1994) bahwa salinitas perairan pada lokasi budidaya
sebaiknya dalam kondisi kadar garam air laut sekitar 24 – 32 ‰. Menurut Doty
(1985) bahwa, rumput laut tumbuh baik pada salinitas yang tinggi berkisar 29 –
34 ‰ dan optimal pada salinitas 33 ‰.
Nilai
pH tertinggi terjadi pada minggu ke-0 yaitu 7,6 dan nilai pH terendah terjadi
pada minggu ke-3 yaitu 6,9. Hal ini menunjukkan bahwa pH pada lokasi tersebut
saat penelitian cocok untuk pertumbuhan rumput laut. Nilai kisaran pH yang baik
untuk pertumbuhan rumput laut E.cottonii berkisar 6 – 9, dan pertumbuhan
optimal pada pH 7,55 – 8,0 (Amiluddin, 2007).
Menurut
Anggadiredja et al (2006), E.cottonii tumbuh baik pada kecerahan
2-5 m dan pertumbuhannya cukup baik pada kisaran 1,5 m. Kecerahan tertinggi
terjadi pada minggu ke-3 yaitu 63 cm pada sore hari dan terendah terjadi pada
minggu ke-0 yaitu 20 cm pada sore hari. Pada lokasi penelitian didapatkan nilai
kecerahan yang relatif kecil dibandingkan dengan ideal. Rendahnya kecerahan
perairan di lokasi penelitian disebabkan banyaknya partikel yang terlarut dan
tersuspensi dan yang dijumpai pada tanaman rumput laut yaitu menempelnya
suspensi lumpur.
Kecepatan
arus tertinggi terjadi pada minggu ke-1 yaitu 31,5 cm/detik pada pagi hari.
Kecepatan arus terendah pada minggu ke-2 dan minggu ke-3 yaitu 26,8 cm/detik
menunjukkan bahwa kecepatan arus pada lokasi tersebut cocok untuk pertumbuhan
rumput laut. Sesuai dengan pernyataan Apriyana (2006) bahwa pergerakan air yang
baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20 – 40 cm/det
Nilai
nitrat tertinggi terjadi pada minggu ke-3 yaitu 1,68 mg/l. Nilai nitrat terendah
terjadi pada minggu ke-4 yaitu 0,28 mg/l. Nilai nitrat yang diamati selama
penelitian masih dalam kisaran yang dapat ditolerir sehingga dapat mendukung
pertumbuhan rumput laut.
Nilai
fosfat tertinggi di lokasi penelitian terjadi pada minggu ke-3 yaitu 0,16 mg/l.
Kemungkinan yang menyebabkan tingginya fosfat adalah gelombang laut yang
terlihat secara langsung pada lokasi penelitian rumput laut cukup besar yang
bisa menyebabkan pengadukan massa air dan mengangkat kandungan fosfat yang
terdapat di dasar perairan naik ke permukaan. Hal ini sesuai pendapat
Simanjutak (2006).
2.2 Proses Budidaya Rumput Laut
Rumput laut yang
sangat populer dibudidayakan di laut saat ini adalah kelompok penghasil
karaginan (karagenofit) yaitu Eucheuma cottonii dan Eucheuma
spinosum ( ilmuwan lebih banyak menyebut Kappaphycus alvarezii dan E.
denticulatum). Eucheuma cottonii lebih dikenal dengan rumput
laut kotoni mempunyai dua varietas coklat dan hijau, sedangkan E.
spinosum di berbagai daerah disebut beda-beda antara lain : Agar-agar
geser (Seram), agar-agar kasar (Makasar), agar-agar patah tulang (Kep. Seribu),
agar-agar kembang (Sulawesi Tengah).
2.2.1
Pra Produksi
1. Pemilihan Lokasi
Langkah pertama
sebagai kunci utama keberhasilan usaha budidaya rumput adalah pemilihan
lokasi yang tepat, hal ini dapat dimengerti karena pertumbuhan rumput laut ditentukan
oleh kondisi perairan yang sesuai.
Persyaratan umum lokasi :
a. Relatif jauh dari muara sungai.
b. Perairan tidak tercemar.
c. Secara alami terdapat pertumbuhan
rumput laut atau lamun.
d. Dasar perairan sebaiknya pasir
berbatu karang.
e. Peruntukan lokasi diatur oleh Rencana
Umum Tata Ruang Daerah/wilayah.
f. Fluktuasi tahunan kualitas air,
seperti Tabel 2
Tabel
2
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Kisaran
|
1
|
Suhu
|
c
|
26-32
|
3
|
Sa;imitas
|
g/lt
|
28-34
|
3
|
pH
|
=
|
7-8,5
|
3
Penyediaan
Bibit
Penyediaan bibit
yang baik merupakan salah satu kegiatan yang sangat menentukan keberhasilan
usaha. Bibit yang tersedia dalam jumlah yang memadai, berkualitas dan berkesinambungan
merupakan salah satu kunci sukses usaha. Penyediaan bibit bisa berasal dari
alam, budidaya atau kebun bibit. Disamping itu pemerintah (KKP) juga telah menyediakan
Pusat Pengembangan Bibit Rumput Laut (Pusrumla).
Untuk
mendapatkan pertumbuhan rumput yang optimal bibit yang digunakan harus berkualitas
oleh karena itu perlu dilakukan seleksi bibit dengan kriteria sebagai berikut :
a. Umur bibit antara 25-30 hari.
b. Bobot 50-100 g setiap titik ikat.
c. Bercabang banyak, rimbun dan runcing.
d. Tidak terdapat bercak-bercak dan
terkelupas.
e. Warna spesifik (cerah) khas rumput
laut.
f. Tidak terkena penyakit.
4
Pengikatan Bibit
Pengikatan
bibit sebaiknya dilakukan cepat setelah bibit tersedia. Pengikatan bibit dikenal
ada tiga cara yaitu :
a. Cara simpul pita
b. Cara loop pendek
c. Cara loop panjang
Masing-masing
cara mempunyai kelemahan dan kelebihan
Cara simpul pita biasanya menggunakan tali rafia mudah dikerjakan tetapi tali
raffia tidak tahan lama sehingga harus sering diganti.
Cara loop pendek pengikatan bibit
lebih kaku tetapi cara pemasangan lebih cepat dan lebih kuat.
Cara loop panjang pengikatan bibit
lebih mudah tetapi mudah terbelit bila arus relatif besar
Cara
pengikatan bibit dilakukan sebagai berikut :
a. Bibit diikatkan pada tali titik
berjarak 25 cm – 30 cm dengan berat 50 – 100 gr setiap tiik ikat
b. Pengikatan dengan simpul pita
pengikatan dilakukan sedikit longgar.
c. Pengikatan bibit dilakukan didarat,
tempat yang teduh dan bersih atau langsung di laut pada metode lepas dasar
d. Bibit dijaga dalam keadaan basah atau
lembab.
2.2.2 Produksi
1. Metode Lepas Dasar
Metode lepas
dasar adalah cara menumbuhkan rumput laut diatas dasar perairan (10-50
cm) dengan menggunakan tali yang diikatkan pada patok yang dipasang secara teratur.
Areal yang digunakan untuk metode ini sebaiknya diatas lahan yang relatif
datar agar dapat dipasang patok yang berbentuk segi empat, jarak antara
patok 25-30 cm, tinggi patok diatas permukaan dasar perairan, 40% dari
panjang patok dan yang tertamam didasar perairan 60%, jarak tali utama
dari dasar perairan minimal 10 cm..
1) Peralatan
a. Tali utama yang menghubungkan patok
dengan patok adalah multifilament polyethilene (PE) ukuran
6 mm.
b. Tali ris utama dan tali ris bentang multifilament
polythilene (PE) 4 mm.
c. Patok kayu atau bambu berdiameter
minimal 5 cm.
d. Patok besi berdiameter minimal 2 cm.
e. Keranjang.
f. Tali rafia.
2) Penanaman
Bibit yang telah
diikat pada tali titik segera diikatkan pada tali ris yang telah disediakan
dengan jarak 15 cm sampai 30 cm dipasang pada saat surut.
3) Pemeliharaan
a. Kontrol secara rutin dilakukan untuk
memantau perkembangan bibit yang ditanam dan hama penyakit.
b. Penyulaman dilakukan pada minggu
pertama jika ada bibit yang rontok ataupun lepas.
c. Penyiangan setiap minggu jika ada
gulma.
d. Membersihkan benda asing yang
menempel pada rumput laut.
e. Pemeliharaan dilakukan minimal 45
hari.
2.
Metode
Long-line
Metode long-line
adalah cara membudidayakan rumput laut dikolom air (eupotik) dekat permukaan
perairan dengan menggunakan tali yang dibentangkan dari satu titik ke titik
yang lain dengan panjang 25-50 m, dapat dalam bentuk lajur lepas atau terangkai
dalam bentuk segiempat dengan bantuan pelampung dan jangkar.
- Konstruksi
1) Bentuk Konstruksi
Konstruksi
Berbingkai
a. Konstruksi terbuat
dari tali utama yang disusun membentuk segiempat berukuran minimal 25x100
meter, maximal 50x100 meter dan pada setiap sudut dipasang pelampung utama.
b. Setiap 25 meter
pada sisi 100 meter diberi tali pembantu dan pelampung pembantu yang berfungsi
mempertahankan ukuran konstruksi.
c. Tali ris bentang
dengan panjang 25x50 meter diikatkan pada tali utama berjumlah 99 tali ris
bentang dengan jaral 100 cm.
d. Pada setaiap tali
ris bentang dipasang minimal 125 titik, maksimal 250 titik dengan jarak antara
titik minimal 20 cm.
e. Konstruksi
tersebut diapungkan dipermukaan air dan ditambatkan dilokasi menggunakan
pemberat jangkar disetiap ujung sudut dan pelampung pembantu.
f. Pelampung ris
bentang diikat pada tali ris bentang masing-masing 5-10 buah.
Tabel
4. Ukuran Konstruksi dan Jumlah Pelampung
No
|
Ukuran
Konstruksi (m)
|
Jumlah
Pelampung Utama (buah)
|
Jumlah
Pelampung Pembantu (Buah)
|
Jumlah
Pelampung ris Bentang (Buah)
|
Jumlah
jangkar
(buah)
|
1
|
25x100
|
4
|
8
|
250
|
16
|
2
|
50x100
|
4
|
10
|
500
|
18
|
Konstruksi Lajur
a. Konstruksi tali
ris bentang dengan panjang 50-100 meter yang kedua ujungnya diberi pelampung.
b. Konstruksi
tersebut diikat dengan tali jangkar atau tali pancang dengan panjang tali
jangkat 3kali kedalaman perairan.
c. Pada tali ris bentang
dipasang pelampung berjarak 2-3 meter.
2) Kriteria Bahan
Konstruksi
a. Tali jangkar : polyethylene
(PE) diameter minimal10 mm.
b. Tali utama : polyethylene
(PE) diameter minimal10 mm.
c. Tali pembantu : polyethylene
(PE) diameter minimal 6 mm.
d. Tali ris bentang :
polyethylene (PE) diameter 4-5 mm.
e. Tali titik : polyethylene
(PE) 1-1,5 mm, tali rafia 40 cm.
f. Jangkar : beton,
besi, batu, karung pasir dengan berat minimal 50 kg/ buah atau pancang (bambu,
kayu dan besi).
g. Pelampung utama :
jerigen pelastik minimal 25 liter atau bahan pelampung lain.
h. Pelampung pembantu
: jerigen plastik minimal 20 liter atau bahan pelampung lain yang tidak
mencemari lingkungan.
i. Pelampung ris
bentang : botol plastik bervolume 600 ml atau bahan pelampung.
3) Pemeliharaan
Pemeliharaan
dilakukan minimal 45 hari. Selama masa pemeliharaan dilakukan pengontrolan
minimal 3 kali seminggu untuk :
a. Mengetahui
perkembangan kondisi bibit yang ditanam, hama dan penyakit.
b. Mengetahui perlu
tidaknya dilakukan penyulaman pada minggu pertama, jika ada bibit yang rontok
atau lepas.
c. Penyiangan gulma
dan pembersihan sampah yang menempel pada rumput laut.
2. Metode Rakit Bambu
Apung
Metode
rakit bambu apung adalah cara membudidayakan rumput laut dikolom air (eupotik)
dekat dengan permukaan perairan dengan menggunakan tali yang diikatkan pada
konstruksi rakit bambu apung .
1) Konstruksi
Konstruksi terdiri
dari :
a. Bambu : Berumur
tua diameter 8-10 cm, lurus dan tidak pecah.
b. Tali jangkar :
Tali polyethylene (PE) minimal 4 mm.
c. Tali ris bentang :
Tali polyethylene (PE) 2 mm atau tali raffia panjang minimal 40 cm.
d. Jangkar : Beton,
besi, batu, karung berisi pasir dengan berat minimal 50 kg /buah atau pancang
minimal 2 buah.
2) Pemeliharaan
Pemeliharaan
dilakukan minimal 45 hari. Selama masa pemeliharaan dilakukan pengontrolan
minimal 3 kali seminggu untuk :
a) Mengetahui
perkembangan kondisi bibit yang ditanam, hama dan penyakit.
b) Mengetahui perlu
tidaknya dilakukan penyulaman pada minggu pertama, jika ada bibit yang rontok
atau terlepa.
c) Penyiangan gulma
dan pembersihan sampah yang menempel pada rumput laut.
2.2.3 Panen
Panen selektif ;
dilakukan, dengan cara memotong tanaman secara langsung tanpa melepas ikatan dari tali ris.
Keuntungan cara ini adalah penghematan tali raffia pengikat rumput laut namun memerlukan waktu
kerja yang relatif lama. Pemotongan sebaiknya menggunakan alat pemotong yang
tajam agar tidak merusak jaringan thalus sehingga akan muncul percabangan thalus yang baik. Sisa pangkal tanaman
akan diberiakn tumbuh kembali
untuk membentuk tanamn baru. Berdasarkan informasi yang ada, panen selektif umumnya hanya dapat
dilakukan selam tiga kali dan setelah itu sebaiknya dilakukan panen secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena
pangkal tali rumput laut yang
tersisa semakin tua sehingga cendrung pertumbuhannya akan lambat.
Panen total ;
cara panen keseluruhan dilakukan dengan mengangkat seluruh tanaman sekaligus, sehingga waktu
kerja yang diperlukan relatif lebih singkat dibanding cara panen sebelumnya. Sebaliknya, penanaman bibit selanjutnya
harus dilakukan dari awal dengan
mengikat bibit ke tali risdan memasangnya kembali kelokasi budidaya.
Panen rumput
laut secara keseluruhan pada metode lepas dasar, rakit apungdan longline dilakukan dengan cara :
a. Sebelum di panen, rumput laut dibersihkan
dari kotoran atau tanaman lain yang menempel,
dimana kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada pagi hari.
b. Tal iris yang akan dipanen dilepaskan
dari bamboo atau tali utama, kemudian digulung
secara perlahan agar tali ris tidak saling terkait.
c. Gulungan tali ris yang berisi ikatan
rumput laut diletakan disampan atau wadah transportasi lainya.
d. Rumput laut dibawa kedaratan untuk di
lepaskan ikatan rumput laut dari tali ris secara keseluruhan atau hasil ikatan di lepas setelah itu jemur
total.
e. Hasil panen segerah dijemur sampai
kering atau disesuaikan dengan cara penjemuran
yang dipilih.
f. Ukuran hasil panen minimal 200
gr/rumpun
2.2.4.
Penanganan Pascapanen
Seperti telah
disebutkan diatas, kualitas rumput laut dipenghuni oleh tiga hal penting, yaitu teknik budidaya umur panen, dan
penangan pascapanen. Penanganan pascapanen merupakan merupakan kegiatan atau proses yang dimulai sejak
setelah tanam dipanen, yaitu
meliputi pencucian, pengeringan, pembersihan kotoran atau garam (sortasi), pengepakan, pengangkutan dan
penyimpanan.
1. Pencucian
2. Pengeringan atau
penjemuran
3. Pembersihan
Kotoran atau Garam (sortasi)
4. Pengepakan
5. Pengangkutan
6. Penyimpanan atau
penggudangan
2.3 Kendala Dalam Budidaya Rumput Laut
Usaha
pengembangan rumput laut sering dihadapkan pada masalah keberadaan hama
dilokasi budidaya. Hama rumput laut dapat dikelompokan menjadi dua kelompok
yakni hama mikro (micro grazer) dan hama makro (macro grazer). Hama
mikro merupakan organisme yang berukuran kurang dari 2 cm dan hidup menempel
pada thalus rumput laut seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang
(Holothuria sp). Larva bulu babi melayang-layang di air dan kemudian menempel
pada tanaman rumput laut sehingga dapat menutupi permukaan thalus yang
menyebabkan thalus warna kuning. Seperti halnya dengan larva bulu babi, larva
teripang juga akan menempel pada thalus kemudian setelah membesar akan memakan
langsung rumput laut sehingga thalus rusak, terkelupas bahkan patah.
Hama
makro : hama makro merupakan hama dengan ukuran relatif besar yang di jumpai
pada tanaman rumput laut antara lain ikan baronang (Siganus sp), bintang
laut (Protoneutes nodulus), bulu babi (Diadema dan Trineustes sp)
dan penyu hijau (Cheloniamidas). Serangan ikan baronang umumnya musiman
sehingga setiap daerah memiliki waktu serangan yang beebeda. Upaya yang di
lakukan untuk menanggulangi hama tersebuta adalah dengan cara
memperbaiki/memodifikasi teknik budidaya, sehingga tanaman budidaya berada pada
posisi permukaan air dan diharapkan serangan dapat dikurangi. Selain itu
sebaiknya diterapkan pola tanam yang
serentak pada lokasi yang luas serta melindungi areal budidaya dengan memasang
pagar dari jaring. Epifit sejati : hama tersebut dikenal dengan alga penempel
yang dapat menyebabkan kronis, misalnya ganggang suari dapat menempel pada
lapisan kortikal sehingga dapat merusak thalus rumput laut.
Beberapa
tindakan yang mungkin dapat dilakukan dalam upaya pengendalian hama rumput lain
antara lain :
a. Lokasi yang dipilih adalah habitat yang tidak terdapat populasi endemic
hama, atau dapat juga menggunakan metode penanaman rumput laut dipermukaan atau
beberapa meter diatas dasar perairan.
b. Upayakan melakukan penanaman secara serentak dan meluas sampai
titik jenuh dimana hama tidak sebanding biomasa dari produksi total, dimana
cara tersebut merupakan paling popular dilakukan.
c. Gunakan jaring sebagai pagar atau pembungkus pada daerah-daerah
tertentu misalnya pada produksi benih (kebun bibit) agar hama besar misalnya
penyu tidak masuk.
d. Tangkap hama ikan yang sering mengganggu, dimana ikan herbivora (baronang)
sebagai hama rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai iakn konsumsi.
e. Langkah terakhir, apabila hama telah merajalela dan tidak dapat
diatasi maka rumput laut sebaiknya di panen atau dipindahkan/atau menggantinya
dengan bibit yang sehat pada musim hama telah berlalu. Penyakit ice-ice (sebagian
orang menyebutnya penyakit white spot) merupakan kendala utama budidaya
rumput laut Kappachicus atau Eucheuma. Gejala yang diperlihatkan pada
rumput laut yang terserang penyakit tersebut antara lain : pertumbuhan yang
lambat, terjadinya perubahan warna thalus menjadi pucaat atau warna tidak
cerah, dan sebagian atau seluruh thalus pada beberapa cabang menjadi putih dan
membusuk. Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan
seperti arus, suhu, dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya
kelarutan unsur hara nitrat dalam periran juga merupakan penyebab munculnya
penyakit tersebut. Beberapa faktor abiotik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab
munculnya penyakit ice-ice pada budidaya rumput laut adalah kurangnya densitas
cahaya, salinitas kurang dari 20 ppt, dan temperature mencapai 33-35 C. beberapa
jenis bakteri telah diisolasi dari thalus yang terkena penyakit tersebut namun
bakteri tersebut diduga hanya merupakan penyebab kedua (secondary impact)
penyakit ini dapat di tanggulangi dengan cara menurunkan posoisi tanaman lebih
dalam dari posisis semula untuk mengurangi penetrasi sinar matahari atau memindahkan
pada tempat yang lebih aman dengan kondisi lingkungan yang mendukung.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kondisi lingkungan perairan di desa Pakandangan sangra kecamatan Bluto kabupaten Sumenep secara umum baik untuk
dilakukan kegiatan budidaya rumput laut.
2.
Proses
budidaya rumput laut terdiri dari tahap pra produksi, produksi, pemanenan serta
pasca panen.
3.
Kendala yang dialami dalam budidaya rumput laut
berupa hama baik hama makro ataupun mikro dan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Aderhold,
D. Williams, CJ. and Edyvean, GJ. 1996. The
Removal of Heavy Metal Ions by Seaweeds and Their Derivatives Bioresource
Tecnology. Science Limited Printed in Great Britain.
Amiluddin, N. M. 2007. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice-ice Di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Tesis. IPB. Bogor.
Anggadiredja, J., S. Irawati dan Kusmiyati. 2006. Rumput laut : Pembudidayaan, Pengolahan dan
Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Jakarta.
Apriyana, D. 2006. Studi
Hubungan Karaketristik Habitat Terhadap Kelayakan Pertumbuhan dan Kandungan
Karagenan Alga Eucheuma spinosum di
Perairan Kec. Bluto Kab. Sumenep [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Badan
Pusat Statistik, 2005. Bima Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima. Jakarta
Biro Pusat Statistik, 2000. Ekspor Statistik Perdagangan Hasil Laut Negeri Indonesia. Biro
Pusat Statistik. Jakarta.
Doty MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp.nov
(Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia. Di dalam: Abbot IA,
Doty
MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp.nov (Gigartinales, Rhodophyta) from
Malaysia. Di dalam: Abbot IA, Norris
JN (editors). Taxonomy of Economic Seaweeds. California Sea Grant
College Program.
Fattah,
Nurlaelah, dkk.. Analisis
performa biologis dan kualitas rumput laut Jenis kappaphycus alvarezii pada kondisi lingkugan Perairan yang
berbeda.
Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan
dan Perikanan. 2011. Budidaya rumput
laut. Jakarta
Norris JN (editors). Taxonomy of Economic Seaweeds.
California Sea Grant College Program
Murdinah,M.D.Erlina,Th.D.Suryaningrum,
A.H.Purnomo,U.Rahayu,Y.Sudrajat, 2002. Riset
Ekstraksi karaginan
skala semi komersial. Laporan Tahunan Pusat Riset Pengolahan Produk dan
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.Jakarta
Simanjuntak, M. 2006. Kadar Fosfat, Nitrat dan Silikat Kaitannya Dengan
Kesuburan Di Perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Pusat Penelitian
Oseanografi Lipi. Jakarta.
Sirajuddin. M. 2009. Informasi Awal Tentang Kualitas
Biofisik Perairan Teluk Waworada Untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Early Information
About Bio-Physical Quality Of Seaweed Culture (Eucheuma Cottonii) In Waworada Bay, Bima Regency. Mahasiswa Pascasarjana (S2) Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB Staf Dinas Kelautan dan
Perikanan Kab. Bima
Syaputra,Y. 2005. Pertumbuhan
dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cotonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan
Perlakuan Jarak Tanam di Teluk Lhok. Seudu. [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.